BAB LIMA PULUH SATU

6.6K 848 129
                                    

Kami adalah Haveen Cato, Begitu juga Anda. Saat ini, Anda adalah Haveen Cato.

Kalimat itu membentuk repetisi di kepala Kale seperti potongan lagu yang nakal. Pemuda itu merasa dirinya menjadi Kanaya untuk sesaat dan sesaat setelahnya lagi menjadi Vale yang tak sabaran.

“Cara berkabung di setiap keluarga berbeda-beda, Mas Kale.” Rengganis kini berbagi tatapan dengan sang putra yang mengeluarkan sebuah buku dari saku celana kargo yang dia kenakan. “Dan Haveen Cato adalah cara yang kami gunakan.”

Menyambung ucapan sang ayah, Gheni dengan sigap mengulurkan buku yang baru saja dia keluarkan kepada Kale. “Silakan.”

Kale menerimanya ragu. Mata rusanya memindai buku usang yang memiliki banyak bekas tinta dan cipratan cat itu seperti sebuah jimat magis.
Perlahan ia membuka lembarannya dengan hati-hati, saksama mencerna isi.

“Sketsa-sketsa di dalam buku itu pasti mengingatkan Anda akan sesuatu, terutama sketsa yang dibuat pada tahun 2017.” Gemerisik ranting menggurat jendela seirama dengan suara rendah Gheni yang tenang seperti aliran air.

Kale menatap sketsa itu dan Gheni bergantian, Rengganis yang telah menyerahkan untaian kisah pada sang anak memberi anggukan kecil sebagai persetujuan bagi Gheni untuk melanjutkan.

Gheni mengembuskan napas cukup panjang. “Sehari sebelum demo besar menuntut reformasi kepolisian, paman saya ditemukan tak bernyawa di studio ini. Di dekat tubuhnya, kami menemukan secarik catatan dan buku sketsa. Dalam catatan itu, ia memberitahu kami apa yang harus dilakukan dengan buku sketsa itu dan permintaan beliau pada kami untuk menjaga Lily.”

Jika matahari tiba-tiba terbit dari barat saat ini, Kale tidak akan terlalu terkejut lagi. Dan seolah mengerti betapa tergugunya Kale menggapai jawaban, Gheni mengulur bantuan untuk membuat konklusi.

“Anda benar, Mas Kale. Armani Shahbaz dan Haveen Cato adalah orang yang sama—sosok di balik lukisan Ibu Anak Surabaya, sekaligus ayah yang mencari keadilan atas kematian tragis putrinya.”

Kale dapat melihat bagaimana Rengganis menjadi sendu ketika nama itu disebut. Matanya yang cekung mengedar ke seisi ruangan, mengenang pemilik senyum yang biasa menghabiskan waktu mengayunkan kuas bersama Lily.

“Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana orang mati dapat menjual lukisan. Atau bagaimana nama Armani muncul kembali sebagai kolektor pertama Haveen Cato ketujuh. Untuk menjawab itu, Anda mungkin ingin mendengar cerita tentang insiden kecil pasca kematian Paman Armani.”

Kale memutuskan untuk terus mendengar, mata rusanya mengkilat menanti jawaban.

Gheni di sisi lain melirik sang ayah yang kemudian mengulum bibirnya. Rengganis menyentuh cangkir teh yang mulai dingin, meneguknya sedikit sebelum mengambil alih sebuah kisah yang panjang.

“Dua tahun lalu, satu bulan setelah kematian Armani, rumah kami kebobolan, Mas Kale,” ungkap Rengganis. “Tidak ada barang yang hilang selain sebuah lukisan dari studio ini.”

Oh ...
OH! Kale membelalakkan mata.

“Anda bisa menebak bahwa lukisan ketujuh yang diketahui publik adalah lukisan yang hilang tersebut. Tapi itu bukanlah Haveen Cato Ketujuh yang asli. Orang yang mencuri lukisan itu salah mengira lukisan Lily sebagai milik Armani karena jika dilihat sekilas, orang-orang akan mengatakan stylenya sangat identik.”

Rengganis mengambil jeda untuk tergelak, matanya yang semula pedih berubah jenaka tatkala melanjutkan. “Sebenarnya alasannya sederhana, Lily menggunakan referensi itu untuk belajar dan lama-lama mengadaptasi gaya ayahnya. Meski begitu, Anda pasti bisa melihat bahwa keduanya amat berbeda. Armani adalah pengguna tangan kiri sementara Lily dominan kanan. Setelah insiden itu, Lily menangis berhari-hari karena lukisan yang dia buat susah payah dengan bantuan ayahnya hilang dicuri. Saya tidak bisa menahan tawa ketika mengetahui target asli pencurian itu adalah lukisan Armani yang berada di samping lukisan Lily—lukisan yang anda ketahui sebagai Rozentine.”

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang