Pemegang Kekuasaan

40 1 0
                                    

Dia berada diatas, kamu mungkin, tidak akan mampu.

****

Archadias High School, pagi ini begitu ramai, terdengar bisik-bisik, yang menembus pendengaran. Kejadian tiga bulan lalu, masih meninggalkan tanda tanya, dalam benak para siswa maupun siswi AHS.

Cowok dengan tindik, dipinggir alisnya itu, terus melangkahkan kaki, tanpa perduli pada suasana sekitar yang begitu ramai, ia masih sibuk dengan lolipop didalam rongga mulutnya.

Suara deruman kendaraan mewah berroda empat, mengalihkan segala atensi seluruh murid, yang masih berada dihalaman sekolah elite tersebut.

Teriakan bersahutan, menyambut kedatangan empat sahabat, dari keluarga kaya raya dan terpandang itu.

Cowok dengan alis bertindik itu, terkekeh sinis, obsidian itu menatap tajam, pada pria yang juga memandangnya, dengan senyuman remeh.

"Hugo Darendra, gue pastiin, lo bakalan terima balasan yang setimpal," cowok itu berlalu meninggalkan halaman sekolah, sedangkan Daren, hanya menaikan sedikit sudut bibir kanannya, melihat kepergiannya cowok itu.

***

Daren berjalan menuju, ruangan yang memang dikhususkan untuk dia dan ketiga sahabatnya. Masuk ke dalam ruangan ini, tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang, karena setiap anggota yang memegang card berwarna merah dengan lambang tengkorak saja, yang bisa memasuki ruangan tersebut.

"Bagaimana Ansara?" Tanya Daren, pada seseorang yang menjadi kepercayaan untuk menjaga gadisnya.

"Bodoh, tidak becus, tunggu hukumanmu Mark!" Daren mematikan sambungan telepon itu dengan kesal, dada nya bergemuruh kencang saat mengetahui, sang kekasih terjatuh saat berjalan santai pagi ini.

"An, kenapa Daren?" Tanya Ares yang baru memasuki ruangan tersebut, cowok itu membawa dua tongkat Baseball dalam genggamannya.

"Jatuh, Mark, terlalu bodoh untuk menjaganya," ucap Daren kesal.

Ares menjatuhkan diri, pada sebuah sofa dihadapan Daren, "gadis kecil itu, pasti berlari," gumam Ares, ia mencoba menghubungi sang Mommy, untuk menanyakan kabar sang adik, Ares tahu, sahabatnya itu pasti khawatir dengan keadaan adik kecilnya, tapi, terlihat masih ada amarah yang ia coba untuk tahan, agar tidak meledak dihadapan Ansara.

"Ya mom, bagaimana An, apakah parah lukanya?" Tanya Ares, saat sambungan telepon terhubung dengan sang ibu.

"Hanya lecet Res, namun, masih menangis,"

"Bilang pada An, Mom. Ketika Abang pulang, An, bisa membeli banyak eskrim vanilla favoritnya,"

"Abang, apakah itu benar?" Ya, suara gadis itu terdengar menyahuti ucapan Ares.

Sebelum menjawab ucapan Ansara, pria dengan Headband di kepala itu, menoleh meminta persetujuan pada Daren.

"Dia baru sembuh dari flu, satu Minggu yang lalu. Tapi, kali ini biarkan asal di tidak menangis lagi, An, akan kesulitan bernapas saat menangis terlalu lama."

Ares mengangguk menyetujui ucapan Daren, "Adikku yang manis, tentu saja benar, bersiaplah nanti Abang dan Daren menjemputmu. Dan, jangan menangis lagi ya sayang,"

"Tentu Abang, adik menyayangimu, I love you Abang." Ya setelah itu sambungan telepon itu terputus.

Ares memasukkan kembali, ponsel kedalam saku kemeja sekolahnya.

"Tidak perlu cemburu, dia adik gue wajar dia sayang sama gue."

Ya, Ares dapat melihat, wajah kesal dari sahabatnya itu. Saat, sang adik bilang menyayanginya.

The VillianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang