***
"Kakak, An, senang sekali. Akhirnya, An. Bisa sekolah sama seperti kakak," keluarga Mahatma, sedang duduk santai, sambil menonton kartun favorit gadis kecil itu.
Anin hanya diam, enggan mengomentari ucapan sang adik.
"Anin, adik bicara padamu, Nak." Tegur Karina pada putri keduanya itu.
"Aku tidak suka, dia bersekolah di tempat yang sama denganku." Anindhya bangkit dan berlalu meninggalkan ruang keluarga Mahatma.
"Abang senang sekali, tidak usah pikirkan ucapan dia. Itu tidak penting sama sekali sayang," Ares memeluk sang adik dari samping, mencoba menenangkan adik kecilnya itu.
Ansara masih tertunduk lesu, ia tidak mengetahui dengan jelas. Apa yang membuat Anindhya tidak menyukai dirinya.
"An, bukankah, Mommy Hellena akan mengantar beberapa perlengkapan untuk An, bersekolah besok sayang." Karina masih mencoba, terus membuat mood gadis kecilnya itu membaik.
"Apa kak Daren, akan kemari Mommy?" Tanya Ansara, mulai bersemangat kembali.
"Iya sayang, Daren yang akan mengantarkan nya untukmu." Jawab Karina, wanita itu bangkit dari duduknya. Dia menghampiri gadis kecilnya. Mengelus perlahan Surai indah nan panjang, ia dan sang suami, selalu memberikan yang terbaik untuk hidup putri kecil mereka.
Ansara masih sibuk dengan beberapa alat lukis dan kanvas dihadapannya, ia tidak sadar jika cowok bertubuh tegap itu sedang memandangi dia dengan senyuman manis.
"Tadi, An sempat bersedih. Karena ucapan bodoh Anindhya," ujar Ares, cowok itu berdiri disamping Daren. Sudah bersiap dengan tongkat Baseball miliknya, Ya, Antares Mahatma memang menggemari olahraga tersebut.
"Apa yang diucapkannya, pada Ansara?" Tanya Daren, tanpa mengalihkan atensinya dari gadis kecil itu.
Ares memandang ke arah yang sama dengan Daren, "dia bilang, tidak menyukai An, yang bersekolah di tempat kita."
"Tidak tahu diri," Ares hanya diam mendengar umpatan dari mulut Daren, karena cowok itupun berpikir hal yang sama.
Daren menekan in-ear-monitor, yang ada ditelinga.
"Mark, bawakan selimut, untuk Ansara. Angin sudah lumayan kencang sore ini," perintah Daren.
Daren berjalan menghampiri Ansara, gadis kecilnya itu sangat fokus pada lukisan indah di hadapannya.
Ansara terkejut, saat merasakan sesuatu menutupi bahu terbukanya. Ya, gadis itu hanya menggunakan Dress tanpa lengan, berwarna merah muda. Warna kesukaan Ansara.
"Kakak,, An senang kakak datang." Gadis itu memutar tubuhnya, menghadap Daren, ia langsung memeluk tubuh tegap itu.
Daren dapat melihat, jika gadis kecil ini masih bersedih. Wajahnya tidak seceria biasanya, bahkan Ansara berbicara tidak bersemangat sama sekali.
"Apa yang menganggu pikiranmu sayang," tanya Daren, ia menciumi bertubi-tubi Surai indah itu.
"Kakak, apa Ansara bukan anak Mommy dan Daddy?" Tanya Ansara, ia mendongak untuk melihat wajah tampan kekasihnya.
"Siapa yang berbicara hal konyol seperti itu padamu?" Bukan menjawab Daren, malah melayangkan kembali, pertanyaan untuk Ansara.
"Tidak ada, hanya pemikiran An saja."
Daren menangkup pipi berisi itu, "sayang aku pastikan, kau adalah keturunan asli dari Mahatma."
"Terimakasih, karena kakak selalu bisa membuat An tenang." Gadis kecil itu kembali memeluk Daren, bahkan lebih erat dari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villian
Любовные романыHugo Darendra Aldrich, hanya tahu, Dunia itu indah, jika ada Ansara Mahatma.