ENEMY WITH BENEFITS || THALA SI PANDA

6K 183 8
                                    

🌟🌟🌟

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌟🌟🌟

•••

     "Boo."

     "Aduh!" Retha mengusap atas kepalanya yang kesakitan terbentur loker.

Alan tersenyum miring saat Retha memukulnya dengan raut keruh.

     "Kau baru datang sudah menyebalkan, apa maumu?" decaknya, ia kembali fokus pada loker mencari buku binder.

     "Cari apa?" Alan tidak menjawab pertanyaannya, ia dengan sengaja menepuk pantat Retha dan meremasnya, makin menambah tingkat kekesalan wanita itu.

     "Pergi, brengsek!"

Lelaki dengan kaos hitam itu berlari menghindari Retha yang mengejarnya, tanpa sadar mereka jadi tontonan beberapa mahasiswa di sekitar sana.

     Kedua tangannya terangkat tanda menyerah, "Oke oke, aku berhenti."

     Hidung Retha berkedut menahan rasa ingin menerjang lelaki itu, "Bisakah kau tidak sok dekat denganku? Aku bosan melihat wajah jelekmu."

     "Jelek? Ini?!" Alan memberi tanda memutari sekitar wajahnya, "Bahkan perempuan rela mengantri untuk mengambil perhatianku."

     "Menjijikkan."

Retha berjalan meninggalkan Alan, jika terus begini, lelaki itu lama-lama akan menyulut emosinya.

Padahal mereka dulu tak pernah saling berbicara kecuali untuk bertengkar, kenapa sekarang rasanya ada yang berubah? Apa karena ia mulai menghabiskan waktu luang dengannya?

Kemudian ia kembali terpikir hubungannya dengan Alan yang sebatas saling membantu, apa jika kontrak selesai mereka akan kembali seperti semula? semuanya jadi rumit begini.. Retha menghela nafas.

Pandangannya kosong, masih mengingat jelas alasan awal Retha mulai memberi batas permusuhan pada lelaki itu, alasan kekanak-kanakan yang ia pegang sampai sekarang.

     "Kenapa bereskspresi begitu?"

     Tangan Retha terkepal menyadari Alan masih mengikutinya, "Jujurlah, kau ini tidak punya teman selain Denov kan?" tuduhnya.

     Alan melotot tak terima, "Enak saja, temanku banyak tau!"

     "Terus kenapa terus mengangguku?"

     Alan mengetukkan jari pada dagu, membuat postur seolah berpikir, "Kenapa ya.."

     Retha mendengus sebal, "Jawab yang benar."

     Ekspresi Alan tiba-tiba berubah, lelaki itu melangkah maju menyudutkan Retha ke dinding. Netra hitam tajamnya menatap wanita yang terperangkap di antara kedua lengannya, "Kau juga belum menjawab pertanyaanku."

     Retha berusaha mendorong tubuh Alan yang menghimpitnya, tapi tak berefek sama sekali, "Lepaskan, Al!"

     "Aku tanya, kenapa ekspresimu tadi
berat sekali?"

     "Itu bukan urusanmu. Menjauhlah dariku." Retha memukul-mukul dada Alan yang makin mendekat, tingginya yang hanya sebatas pundak lelaki itu membuatnya terhimpit.

Itu urusanku jika kau tersakiti, Tha. Aku tidak ingin melihatmu seperti waktu itu. Aku disini. Aku ingin membantumu, bicara padaku. Sial, kenapa kau sangat keras kepala?

     Alan mengeraskan rahang, enggan menyuarakan isi bantinnya, "Bagaimana kabar Thala?"

     "..Thala?"

     "Boneka yang kem-"

     "Sebentar, jauhkan dulu tubuhmu. Aku merasa gerah." Retha menggeliat pelan, hingga Alan akhirnya memberi jarak tapi masih mengukungnya.

     Retha menaikkan sebelah alis, "Sejak kapan bonekaku bernama Thala?"

     "Sejak kulahirkan." jawab Alan asal.

     "Pft, kau tidak bisa melahirkan, Al. Lagipula apa artinya Thala? Tidak terdengar imut seperti panda."

     Alan menyipitkan mata, "Dia itu spesial, tau."

     "Oh ya? Kenapa bisa?"

     "Thala pendengar yang baik, kau bisa ceritakan apapun padanya dan itu akan membuatmu merasa lebih nyaman. Panda identik dengan kehangatan, Tha." jelas Alan yang sepenuhnya kebohongan belaka. Tapi ia harap dengan ini Retha tidak menyembunyikan lagi perasaannya, walau hanya pada boneka, wanita itu membutuhkan sandaran.

Tentu saja berlaku sampai Retha bisa menemukan sosok sandarannya sendiri, tempatnya bisa berpulang.

Alan kembali merasa sesak di ulu hatinya, perasaan yang tak ia mengerti—karena tak pernah dirasakannya, selalu muncul di dekat Retha. Pandangannya turun pada bibir plump wanita itu yang seolah memanggil namanya.

Memastikan keadaan sekitar, Alan langsung melahap labium lembut tersebut dengan kasar, menghisapnya dengan rasa candu. Tangannya naik menahan belakang kepala Retha agar tak menyentuh tembok keras.

Matanya tertutup menikmati, sudah lama rupanya Alan tidak menyentuh ini.

Sampai ia merasa remasan pada kaos depannya, wajah Retha memerah menahan nafas. Alan melepaskan tautan bibir, menyatukan dahi mereka hingga bisa memperhatikan jelas Retha dari dekat.

     Meraup udara dengan rakus, tatapan Retha sayu, "Kau sudah gila? Kita di area kampus. Lepaskan aku."

Alan tak mendengar, ia terlalu fokus mendalami netra hazel milik wanita di depannya.

     Retha mulai memberontak, "Al, lepaskan!"

     "Kak Retha?"

Alan refleks menjauh mengira mereka kedapatan seseorang, raut wajahnya berubah muram melihat siapa yang datang. Seharusnya tubuhnya tetap menempel pada Retha.

     "Xander." Retha tersenyum kecil, menyelipkan seuntai rambut ke belakang telinga.

     Balas tersenyum, Xander berjalan mendekat, sedikit menunduk sopan pada Alan yang masih tak berkutik, "Aku mencari kakak dimana-mana, sedang apa disini?"

     "Ah, aku ada-"

     "Bukan urusanmu." Alan menjawab dingin.

Ringisan kecil keluar saat Retha menginjak kakinya, Xander tertawa canggung, merasa terintimidasi akan tatapan sang kapten basket yang seperti menusuknya.

     "Aku ada urusan sedikit." jawab Retha.

     "Dengan kak Alan?"

     Alan menaikkan sebelah alisnya mendengar nada bicara adik tingkatnya yang seperti menahan sesuatu, "Kau tahu namaku?"

     "I-iya, aku penggemar kakak." jawab Xandee gugup, entah kenapa aura lelaki di depannya ini begitu menyeramkan sekarang. Padahal setaunya Alan merupakan pribadi yang ramah.

Mendengar itu, Alan tersenyum miring penuh kemenangan. Harga dirinya sebagai laki-laki seperti terangkat naik.

     Tangannya naik ke pundak Xander dan mengusapnya, "Wah, senang bertemu denganmu."

Bagi yang melihat, itu seperti sapaan perkenalan hangat. Namun untuk Xander yang merasakan langsung, rasa perih akibat tekanan kasar Alan di pundaknya menyebar cepat, menciutkan nyalinya. Bahkan senyum lelaki itu tetap terjaga seakan tidak melakukan apapun.

Retha mengerutkan kening, ia menyingkirkan tangan Alan dari Xander dan memberi tatapan mengancam pada lelaki itu.

     "Ada apa mencariku?"

     "Kak Amara mencari kakak sepulang sekolah nanti."

     Retha mengangguk mengerti, "Baiklah, terima kasih infonya."

     "Dan, ehm.." Xander memainkan jarinya tanda gugup, "Kakak ada waktu lusa?"

     "Kenapa?"

     "Aku ingin mengajak kakak ke tempatku lagi,"

Alan menggertakkan gigi, nafasnya memburu tak menangkap perkataan lain dari junior itu. Kilas balik terputar saat ia menjemput Retha di tempat tersebut, tertidur kelelahan.

Apa kalian akan melakukannya lagi?

Bayangan Xander di atas Retha, mengisi setiap sudut bagian intim wanita itu dan membuatnya mengerang lembut. Mendesahkan namanya. Hingga persatuan mereka melebur cairan kental yang kelak ditumpahkan pada vagina Retha, tempat kesukaannya.

     "Ada Lea?" Retha bertepuk tangan semangat.

     Xander mengangguk, "Aku disuruh menjaganya, sepertinya dia berharap aku mengundang kakak lagi."

     "Aku tidak sabar, jam berapa kesana?"

     "Tidak."

Retha dan Xander berbalik, menatap kaget pada Alan yang mengepalkan tangan dengan keras, bisa terlihat bercak darah dari bekas kuku yang menggores disana.

     "Alan.." Retha mendekat, memegang tangan lelaki itu dengan khawatir. Saat kepalannya dibuka, aliran merah semakin merembes.

Mendongak, Retha tidak melihat perasaan dari air muka Alan, bahkan rasa sakit, tidak ada sama sekali.

Hingga pandangan Alan menemuinya, nampak hitam pekat tak berujung.

     "Tha, tinggalkan dia. Obati aku."

•••

Jealousy jealousy~~

Hmm.. double update ngga yaa hari ini?😍

Enemy with Benefits⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang