ENEMY WITH BENEFITS || ANALISA DENOV

5.4K 187 15
                                    

Happy 100k+ views!❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy 100k+ views!❤️

•••

     "Pemilihan kelompok sama dengan kemarin."

Retha memutar mata dengan malas saat Alan mengusir orang yang duduk di sebelahnya, mendaratkan bokong sambil menyeringai lebar.

     "Eits, mau kemana?" Alan menahan tangannya yang ingin beranjak.

     ""Protes ke dosen."

     Kedua netra hitam lelaki itu melebar, "Tidak, kenapa mau protes?"

     "Terakhir kali hanya aku dan Denov yang mengerjakan, kau sibuk pergi entah kemana," Retha menyilangkan tangan di depan dada, "Sekarang karena Denov tidak ada, aku tak ingin terjebak denganmu."

     "Aku akan membantumu."

     Alan jadi kikuk saat pandangan tajam Retha terarah padanya sarat akan keraguan, "Janji."

Wanita itu menghembuskan nafas lelah, sepertinya dia harus menghadapi lelaki ini untuk beberapa hari ke depan.

Menganggap Retha setuju, Alan melebarkan senyum dan duduk dengan santai, membuka ponsel. Tentu sebelum ponselnya melayang diambil seseorang.

     "Tidak ada bermain hp jika belum selesai." Retha memerintah tegas, memasukkan benda persegi panjang itu ke dalam kantongnya.

     Alan memanyunkan bibir cemberut, "5 menit?"

     "Hentikan, Al. Itu membuatku ingin muntah." ucapnya menunjuk bibir tipis lelaki itu.

     "Ini? Bukannya kau suka, ya?" Alan memiringkan kepala bertingkah sok polos, "Kemarin saat dadamu kukecup kau meminta lebih, bahkan sampai mendesah keras. Bagaimana bunyinya? Ahh, Alan-"

     Retha menutup mulut Alan erat, wajahnya merah padam seperti tomat rebus. Bisa-bisanya lelaki itu membawa kejadian saat mereka bersetubuh—konsepnya kan berbeda.

     "Aish, sialan!" pekiknya saat Alan menjilat telapak tangannya, ia mengelap liur lelaki itu dengan perasaan sebal setengah mati.

     Alan tersenyum miring menatap wajah jutek Retha yang merona, "Aku punya ide,"

     "Bagaimana kalau kau ke apartementku-"

     "Tidak." Retha memotong dengan tegas.

     "Aku belum selesai bicara."

     Menyipitkan mata, Retha berucap, "Aku sudah tau jika kita disana, tidak akan ada yang beres selain hasratmu."

     "Siapa bilang?" bantah Alan.

     Mendengar itu Retha berdecih, "Kita lakukan di kamar Denov."

     "Ah, tidak seru." erangnya, berbaring di lantai dingin khas rumah sakit.

Retha menghiraukan sifat kekanakan Alan, ia menaruh parsel buah di atas meja putih, lalu duduk di kursi tepat sebelah Denov.

     "Kau sudah bisa duduk tegap?" Retha memperhatikan ranjang lelaki itu yang diatur untuk tegak seperti sofa.

     Denov terkekeh, "Tha, aku hanya sakit kaki, bukan semuanya."

     Retha mengangguk paham, "Sudah makan?"

     "Sudah, lidahku rasanya mati rasa karena makanan disini, benar-benar tidak enak."

     "Makanannya mengandung protein tinggi."

     "Yang nomor satu bagiku adalah rasa, biar terbuat dari pasir pun kalau enak tetap kumakan." celetukan Denov membuat Retha tersenyum kecil.

Mata hazelnya mengarah ke jendela besar dengan gorden terbuka, berguna agar cahaya matahari bisa masuk memberikan vitamin tambahan, pemandangan di bawah sana berisi taman kecil dengan orang berseragam pasien.

     "Disini menyenangkan?"

     Denov terdiam sebentar, memilah kata-katanya, "Lumayan, walau terkadang rasanya sedikit sepi karena aku terbiasa main di luar. Tapi aku sudah rutin ikut terapi jalan biar bisa semakin lancar dan kembali bertemu kalian lagi di kampus."

     Retha menepuk pundak lelaki itu memberi semangat—membuat Denov tersenyum padanya, "Jika kau butuh sesuatu-"

     "Ekhm, kita disini untuk apa tadi?"

Interupsi itu membuat Retha kesal, tapi Alan benar, mereka kesini untuk menyelesaikan tugas kelompok sekalian mengunjungi sang teman. Dia menurut dan duduk melantai di sebelah Alan, membuka laptop.

Alan diam-diam mengepalkan tangan, apa-apaan itu tadi? Sejak kapan Retha jadi begitu akrab dengan Denov?

     "Biar kubantu juga." Denov, yang juga bagian dari kelompok meras tak enak hanya menonton.

     Retha menggeleng, "Tidak usah, anggap saja bagian kerjamu itu meminjamkan ruang belajar yang aman dan damai tanpa gangguan." ucapan itu tersirat sindiran untuk Alan, yang tentu saja disadari lelaki itu.

Jemari Alan pergi ke belakang, menepuk bokong Retha pelan, hingga wanita itu mencubitnya.

     "Tapi aku merasa tak berguna, berikan apa yang harus kucari di internet."

Melihat wajah memelas Denov membuatnya tidak tega. Retha akhirnya memberikan beberapa topik pembahasan mereka, ia berdiri membantu lelaki itu cara merangkum agar hasilnya tidak terlalu panjang.

Alan kembali cemberut, melihat kedekatan Retha dengan sahabatnya lagi-lagi membuat ia jadi kurang senang.

Padahal Alan tau orang yang disukai Retha itu Xander, kenapa dia merasa cemburu pada Denov?

Eh? Sial, cemburu apanya, dia hanya terbiasa jadi pusat perhatian.

Denov menyembunyikan senyumannya, ia sangat puas menjahili Alan. Dia dengan sengaja selalu menarik perhatian Retha hingga mengacuhkan yang lain. Siapa suruh Alan terlalu menunjukkan perasaannya hingga Denov langsung bisa menebak.

Awalnya saat mengganggu percakapan mereka, Denov pertama mengira itu hanya suatu kebetulan. Namun setelah analisa diam-diam, Denov sadar Alan betul memiliki suatu tempat khusus untuk Retha di hatinya.

Tentu saja ia juga tau mengenai Alan yang kerap kali berusaha menjauhkan keduanya.

     "Tha, bisa tolong ambilkan apel itu?" Denov menunjuk sepiring buah segar merah yang diletakkan di sebelah westafel, selesai di cuci.

     Sebelum Retha berdiri, Alan sudah berjalan duluan, melakukan yang diinginkan Denov, "Tuh."

     "Thanks, Al. Bisa sekalian kupaskan?"

Alan mematung, ia tidak bisa mengupas buah.

     "Biar aku saja." Retha sudah duduk di kursi tamu sebelah Denov dengan pisau buah di tangannya, mengiris dengan pelan.

     "Kau butuh sesuatu lagi, Nov?" tanya wanita itu, menyerahkan sepiring apel yang sudah dipotong.

     Denov berpikir sebentar, "Ya, sebenarnya-"

     "Biar kubantu." Alan memotong, menawarkan diri.

     "Al, selesaikan saja jatah pekerjaan yang kuberikan. Kau mau kabur kan?"

Kedua mata lelaki itu melebar mendengar tuduhan yang terarah padanya, padahal niatnya hanya menjauhkan Denov dari Retha.

     "Biarlah, Tha. Aku akan bantu mengerjakan bagiannya," Denov berujar lembut, pandangannya berpindah ke Alan, "Aku ingin minuman di kantin rumah sakit."

Alan mengerjap, bukankah ini artinya ia jadi meninggalkan mereka berdua?

     "Kau tidak mau?" Denov bertanya, berusaha menyembunyikan nada jenakanya.

     Alan berfikir harga dirinya akan jatuh jika menolak ini, "Baiklah. Minuman apa?"

     Sesuai dugaan Denov, lelaki itu setuju, sepertinya khusus hari ini Alan bertransformasi menjadi babunya. Sepergian Alan, Retha masih sibuk mengerjakan tugas mereka, Denov menatapnya dalam diam sekalian memikirkan suatu hal.

Jika sahabatnya benar menyukai Retha, bukankah Retha sudah punya Xander? Alan harus bergerak cepat jika memang sangat ingin bersama wanita ini. Namun, jika bisa memilih, Denov lebih mendukung Xander yang notabenenya anak baik-baik.

Dia sendiri tau bagaimana watak Alan saat bersama perempuan, lelaki itu tidak akan cukup mencintai dan setia pada satu wanita.

Sedangkan Xander, Denov hanya beberapa kali berpapasan dengannya di koridor. Adik tingkat itu kerap menunduk singkat jika mereka berkontak mata. Ayolah, jaman sekarang masih ada kah orang sesopan itu?

Alan mendobrak masuk ke ruangan, nafasnya sedikit cepat seolah habis lari—mungkin dia memang berlari.

Menyimpan minuman permintaan Denov di mejanya, Alan mengeluarkan satu minuman lagi, memperlihatkannya pada Retha.

     "Tha, rupanya ada ini disini." ujarnya memegang susu pisang.

Alis Denov mengkerut dalam, sudah beberapa hari disini dan ia bersumpah tidak pernah melihat minuman itu di kantin rumah sakit.

Matanya menangkap kantong kresek yang diselipkan Alan di kantong celananya, samar bertuliskan salah satu minimarket besar. Bukankah jaraknya jauh dari sini? Tidak mungkin kan Alan pergi secepat itu hanya demi satu minuman..

Denov dibuat mematung menangkap tatapan dalam Alan pada Retha, senyum tulus terukir lebar di bibir tipis lelaki itu—bukan senyum miring, bukan juga seringai. Dulu, Alan hanya membuatnya jika sedang bersama sang ibu. Kini lengkungan sederhana itu tercipta melihat Retha menikmati minuman pemberiannya.

Apa kali ini akan berbeda?

Enemy with Benefits⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang