ENEMY WITH BENEFITS || PENGORBANAN SENYAP

9K 184 7
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

     "Lea."

Xander menegur sepupunya yang sedang sibuk menghias surai Retha, memenuhinya dengan jepitan kecil berwarna cerah yang banyak.

     Retha tersenyum kecil menenangkan, "Ini asyik, rasanya seperti berada di salon."

     Gadis kecil itu muncul dari balik rambutnya, "Sungguh?"

Melihat anggukan Retha, Lea bergegas mengambil beberapa mainannya bersemangat. Di tangan kecilnya sudah terdapat banyak barang-barang untuk rambut, seperti sisir, catokan, hairdryer, dll. Tentu saja semuanya hanya plastik.

     "Perlengkapanmu banyak sekali." Retha bergumam takjub.

     "Lea mau jadi penata rambut kalau sudah besar!"

Retha mengusak lembut rambut panjang Lea, senyum khas anak kecil miliknya terlihat bersinar penuh percaya diri.

     "Hebat sekali, kakak yakin Lea akan mewujudkannya." pujinya tulus.

     Lea kembali memegang helai coklat Retha, mulai mengepangnya, "Cita-cita kak Retha apa?"

Retha mematung, senyumannya perlahan luntur.

Bagi orang lain mungkin itu adalah pertanyaan simple yang sudah mereka pikirkan sejak lama, tak butuh waktu banyak untuk menjawabnya. Tapi untuk Retha, dia tidak pernah memikirkan tujuan hidupnya ke depan.

Yang ia tahu, dia hanya perlu menyelesaikan kuliahnya dengan cepat, lalu mencari penghasilan tetap. Hanya itu yang selalu ditekankan pada otaknya. Tidak penting apa yang sebenarnya diinginkannya.

Lamunannya buyar saat seseorang menyentuh tangannya, Xander terlihat cemas.

Retha memandang ke tangan mereka yang bertaut, jemari lelaki itu mengusap pelan mengirim rasa nyaman pada benaknya. Xander seolah bisa menyadari kemurungan Retha.

     Sedetik kemudian juniornya itu seperti tersadar apa yang barusan dia lakukan, ia menarik cepat tangannya dengan wajah memerah malu, "M-maaf."

Retha tersenyum kecil, tingkah Xander lucu sekali.

     "Sudah!" Lea memekik mengagetkan keduanya.

     Retha menerima cermin kecil dari gadis itu, menggumam kagum, "Wah, cantik sekali."

     "Yeay, sudah Lea duga kakak akan suka!!"

     Retha mengecup pipi tembem anak itu, "Terima kasih, Lea."

Xander terkekeh melihatnya, padahal rambut wanita itu hampir tidak berubah sama sekali, hanya diisi hiasan kecil.

Tiba waktunya makan, Lea menonton film anak sedangkan Xander sibuk dengan ponselnya.

     "Kak Retha mau makan apa?" rupanya lelaki itu sedang membuka aplikasi makanan online.

     Retha berpikir sebentar, "Junkfood sepertinya kurang baik untuk Lea. Lagipula bahan makanan ada banyak di kulkas, kalian ingin aku masakkan?"

     Dengan cepat, Xander menggeleng, "Aku tidak ingin kakak kerepotan, kak Retha kan juga sudah menemani Lea main seharian."

     "Aku yang mau, boleh ya?"

Xander mengerjap kaget saat sepasang mata hazel itu menatap penuh harap padanya, bagaimana bisa lelaki itu menolak jika di hadapkan dengan yang seperti ini?

Melalui persetujuan Xander, Retha memutuskan memasak ayam bakar dan kentang tumbuk. Ia menyiapkan bahan di atas meja agar tidak beku.

Saat sedang melumuri bumbu ke ayam, sosok Xander tiba-tiba datang dengan pisau dan talenan, membantu memotong bawang. Jarinya bergerak lihai dan potongannya pun rapi.

     "Xander, kau bisa masak?" Retha bertanya lumayan takjub.

     "Sedikit, ibu mengajariku takut aku makan yang tidak sehat terus." ungkapnya malu.

     Retha tersenyum kecil, "Itu hal yang baik, ibumu sangat peduli padamu."

     "Hm, aku bersyukur memiliki orang tua sepertinya."

Ekspresi Retha tetap biasa, tapi netranya melemas sendu. Dulu saat awal jauh dari rumah, Retha hanya seorang diri. Terbiasa melakukan semuanya sendirian, meminta bantuan pun tidak tahu ke siapa. Padahal saat itu merupakan titik terlemahnya.

Sisi baiknya, kini ia tidak pernah bergantung pada siapapun, mentalnya sudah terlatih matang hingga tak perlu bersandar dan menunggu bantuan orang lain.

Melirik ke samping, Retha memperhatikan Xander yang memusatkan perhatian pada pekerjaannya, lengan sweater lelaki itu digulung hingga siku, rambut kecoklatannya sedikit acak.

Retha tidak tau bagaimana jadinya jika lelaki ini pergi menjauh, apa rasanya akan lebih sakit daripada sebelumnya?

Mungkin terdengar cliche dan pasaran, tapi hatinya selalu merasa nyaman di dekat Xander, entah karena kepribadiannya yang ramah dan hangat atau Retha suka permainan violinnya waktu itu. Mungkin keduanya. Seiring berjalannya waktu, semakin mereka menghabiskan waktu bersama, Retha makin yakin bahwa ia menyukai Xander, semua bagian dari lelaki itu.

Namun Retha tidak ingin terlalu cepat, ia sudah cukup belajar arti proses mengenal dari bagian masa lalu kelamnya. Bahkan jika Xander memutuskan meninggalkannya, Retha percaya akan baik-baik saja. Cuman butuh sedikit lem lagi dan hatinya akan kembali seperti semula.

Seperti dulu.

***

     "Enak sekalii!" Lea menikmati ayam dengan senyuman lebar, bahkan saos sudah belepotan di sekitar mulutnya.

     Mengelap dengan tissu, Xander ikut tersenyum, "Tentu saja, buatan kak Retha memang yang terbaik." ucapnya mengacungkan jempol.

     "Kau juga membantuku, ini masakan kita berdua."

     Lea memajukan bibir, "Apa sebaiknya Lea jadi koki? Sepertinya keren, bisa makan enak terus."

     "Tidak jadi penata rambut?"

     "Pilihan yang sulit.."

     Xander menyeletuk, "Jadi keduanya saja."

     Lea memiringkan kepala, "Memangnya bisa?"

     Xander mengangguk, "Kalau punya keinginan dan usaha, kita bisa jadi apapun."

     "Huh, aku baru tau kau orangnya bijak."

Wajah lelaki itu kembali memerah saat Retha menggodanya, padahal ia hanya asal bicara.

Kring..

Retha berdecak sebal saat sekali lagi teleponnya berdering dari orang yang terus mengusiknya, ia izin undur dan mengangkatnya.

     "Pulang."

     Retha mengepalkan tangannya mendengar nada diktator Alan, "Apaan sih?"

     "Sudah jam 8, Tha. Cepat kembali."

     "Tidak mau, aku bukan pembantumu. Berhenti memerintahku."

     Helaan nafas berat terdengar dari ujung sana, "Kau pulang naik bis kan?"

Retha hanya menggumam mengiyakan.

     "Kau tidak tau tindak kriminal kendaraan umum saat malam hari? Meningkat sampai 90%. Itu terserah kau jika tetap keras kepala, aku memperingatkan-"

     "Ck, iya aku pulang!"

Retha mematikan sambungan dengan kesal. Alan selalu berhasil menghancurkan mood-nya.

     "Kak Retha mau pulang? Ayo."

Xander tak sengaja mendengar percakapan wanita itu, dan tentu saja ia harus mengantarnya kembali.

     "Ah, tidak usah. Aku akan naik bis." Retha menggeleng ringan.

     "Biar kuantar, aku akan jauh merasa lebih tenang jika melihat langsung kakak pulang dengan aman." Xander sudah ingin memasang sepatunya, menolak bantahan Retha.

     "..Lea?"

     "Tenang saja, dia bisa duduk tenang menonton jika sudah diberi makan."

Retha akhirnya menyetujui, mereka keluar dari apartement, berjalan ke mobil Xander yang terparkir.

Udara malam saat ini sangat dingin, membuat Retha menggigil pelan, berhubung pakaiannya sekarang hanyalah kaos lengan pendek dan jeans panjang.

Xander menyadari itu, dia mengaitkan lengan Retha padanya membantu menghangatkan dengan sweater yang ia kenakan. Retha tersenyum, menyukai perhatian kecil yang lelaki itu berikan.

Dari kejauhan, sosok tegap menyaksikan keduanya dengan pandangan sulit diartikan.

Betapa bodohnya Alan mengira Xander akan membiarkan Retha pulang dengan kendaraan umum, ternyata adik tingkat itu menjaganya dengan baik, Alan tersenyum kecil. Berarti sia-sia saja ia menunggu disini.

     "Bodoh." makinya dengan suara serak gemetaran akibat suhu udara.

Tangannya meremas susu pisang kesukaan Retha yang ia pegang, sudah tidak hangat, berhubung dia sudah duduk di halte sekitar 2 jam yang lalu.

Alan beranjak berdiri saat mobil Xander melaju pergi, menaiki bis yang terjadwal ke apart Retha, dimana kendaraannya terparkir.

Rencananya tadi Alan akan menemani wanita itu di bis agar tidak sendirian saat pulang, lalu kembali ke apartementnya sendiri dengan mobil. Tak ingin Retha menolak jika ia muncul dengan kendaraannya sendiri mengingat wanita itu tidak suka diperintah.

Senyum miringnya terbit, kenapa juga ia rela repot-repot meluangkan waktu untuk Retha?

Itu pertanyaan yang terus terngiang selama perjalanan pulangnya sendiri, tapi jawaban tak juga muncul.

Tak peduli seberapa keras Alan berpikir.

Enemy with Benefits⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang