•••
"Kau sudah di rumah?"
"Sudah."
Hening melanda, "Jika kau tidak ingin katakan sesuatu lagi, kumatikan."
Alan terkekeh mendengar nada jutek Retha, "Thala disana?"
"Sudah kubilang namanya bukan-" Retha menghela, enggan berdebat, "Ya, dia disini."
"Di bagian mana?"
"Samping bantal kepalaku."
"Awas kalau dia pingsan melihat wajah bangun tidurmu."
"Apa kau bilang?!"
Alan kembali menghisap rokoknya, menatap jendela kamar Retha yang tertutup dari jalanan bawah. Walau tidak melihat, ia berani bertaruh mata wanita itu sekarang pasti melotot.
"Sialan, kau-"
"Bagaimana hari ini?"
Retha mengerjap sedikit merasa aneh, kenapa Alan tiba-tiba bertanya begini?
"Bukan urusanmu." dan sambungan terputus.
Alan berdecak ngeri, Retha memang sangat galak terutama padanya. Well, dia juga tidak berharap pertanyaannya tadi dijawab olehnya.
Mematikan tembakaunya, Alan masuk ke dalam mobil. Susu pisang yang ia beli tadi masih ada di cupholder mobilnya, tidak disingkirkan. Alan bisa membayangkan omelan panjang Retha jika ia ketahuan membuang makanan. Lebih baik disimpan saja walau Alan tidak mungkin meminumnya.
Menginjak gas, roda mobil Alan melaju kencang pulang ke apart.
Di sisi lain, Retha memegang boneka panda di tangannya, mengangkat tinggi dengan posisi wanita itu yang berbaring. Mata bulat plastik itu menatap balik dengan kilapan khas."Kenapa sih lelaki itu sinting sekali?" mendadak Thala jatuh, menimpa wajahnya dengan keras, seolah tau Alan yang dihina.
Retha meringis, "Awh! Oke oke, aku tidak menyumpahi papamu, tapi sifatnya memang sangat.." ia tidak menyelesaikan kalimatnya, tidak menemukan kata yang cocok.
Berbicara tentang Alan, Retha jadi ingat perkataan lelaki itu bahwa Thala adalah pendengar yang baik.
Mengubah posisi jadi duduk, Retha mengusap telinga hitam Thala yang berbulu lembut, "Jadi.. Alan bilang kau bisa kujadikan teman cerita."
Tak ada jawaban, tentu saja. Tapi entah kenapa hal itu malah membuat Retha semakin membuka diri.
"Hari ini aku bertemu seseorang, dia orang yang kusuka. Kami menghabiskan waktu dengan adik sepupunya yang sangat lucu, benar-benar menyenangkan." Retha bermonolog dengan arah mata melamun, mencoba mengingat semakin jelas aktivitas tadi.
"Adik sepupunya bertanya apa aku punya cita-cita," ucapannya terhenti sebentar, "Aku tidak bisa menjawabnya."
Retha memandang atap kamarnya dengan kedua alis menyatu, berusaha menemukan jawaban dari pertanyaan itu, "Sebenarnya impianku apa?"
Mengambil jurusan hukum, Retha hanya diberi tahu bahwa itu jurusan terbaik di kampus tempatnya, jadi ia mengambilnya. Pelajarannya pun tidak begitu sulit hingga perlu lintas jurusan.
Tapi setelah itu, saat kuliah telah usai, apa yang ingin Retha lakukan?
Beberapa orang bilang perempuan tidak akan sempurna jika tidak berkeluarga, memiliki suami dan anak. Retha terkekeh kecil.
"Aku pernah memilikinya. Keluarga. Dan aku menghancurkannya, hingga tidak bersisa," Retha tanpa sadar meremas boneka itu, "Semuanya salahku, jika saja aku tidak melakukan hal itu, ini tidak akan terjadi."
Memeluk Thala erat, Retha meringkuk seperti janin, "Aku tidak punya pilihan. Kehadiran sosok baru itu membuatku sangat bahagia, tapi aku tidak tau salahku mulai darimana, apa yang perlu kuperbaiki. Sampai dia pergi tanpa sempat memberi sapa."
"Aku tidak ingin begini. Rasanya sakit sekali." Retha meremas dadanya, "Tolong perbaiki aku.."
Bahkan air matanya pun sudah tak bisa keluar, Retha mengelus Thala dalam pelukannya, menganggap boneka itu sebagai sosok yang ia maksud. Sangat kecil dan rapuh, hingga Retha tak bisa menyelamatkannya.
"Aku merindukanmu, malaikat kecilku."
***
Alan mengunyah nasi kuning kantin dengan kurang bersemangat, teman basketnya terlihat bercengkrama di meja mereka. Namun kurangnya satu anggota berdampak besar bagi aura disana.
"Denov belum keluar juga?"
Alan menggeleng, "Masih ada 3 hari hingga bisa turun dari ranjang, luka kakinya memang parah sekali."
Jika ditanya apa Alan merindukan sahabatnya ia akan menolak mentah-mentah, rasanya menjijikkan. Tapi tak bisa dipungkiri kehadiran lelaki itu membuat perubahan besar pada mood-nya.
"Apa kita perlu balas dendam dengan anak itu?" Salah satu senior mengusulkan.
"Anak yang mana?"
"Yang mencelakai Power Forward kita." ucapnya, menyebutkan posisi penting yang di pegang Denov dalam tim mereka.
"Aku tidak yakin, bagaimana jika ini bisa memperpanjang masalah?"
"Tentu tidak, ini namanya balas dendam! Beraninya dia menyakiti teman kita dan hidup tenang setelahnya."
Terjadi pertentangan pro kontra disana, Alan tidak begitu memedulikannya, jika itu bukan kemauan Denov maka ia tidak akan bergerak.
Pandangannya mendarat pada sepasang sejoli yang juga merupakan temannya, Farrel dan Anna. Sebelah alisnya terangkat menyadari posisi duduk mereka yang salin berjauhan.
Alan langsung teringat argumen yang ia dengar waktu di UKK bersama Retha waktu itu.
Mereka baru saja selesai melakukan hal luar biasa spektakuler menakjubkan, saat keduanya masuk dengan tergesa ke dalam.
"Apa-apaan kau?!"
"An, kumohon dengarkan aku. Aku tidak berselingkuh darimu."
Anna terisak kecil, "Kau brengsek, masih mau mengelak setelah semua bukti terlihat?"
"Aku tidak mengelak, kau salah paham." nada suara Farrel berusaha menenangkan.
Plak!
"Woah.." Alan bergumam pelan, ia menoel lengan Retha, "Kau juga pernah menamparku disini."
Retha memutar mata, "Itu sudah lama."
"Ya, saat kita baru menjalin EWB," perkataannya hanya dibalas gumaman.
"Keputusan terbaik yang pernah kuambil." Alan menyeringai saat Retha berbalik padanya, "Aku jadi bisa menikmati ini." ucapnya menangkap dan menghisap kecil dada Retha yang masih belum tertutup.
"Sialan!" Retha menarik telinga Alan lalu segera mengancing kembali pakaiannya, menghalau lelaki dengan hormon seksual berlebihan itu.
Alan tersenyum miring dan memeluk Retha erat dari belakang—mendusel kecil, menikmati tontonan bioskop gratis yang tersaji.
"Far, kita bisa bicara nanti. Aku butuh waktu menenangkan pikiranku."
"Kumohon jangan pergi. Aku akan perbaiki semuanya."
"Itu juga yang kau bilang waktu itu, lalu apa?" Anna tertawa sarkas, "Kau tidak pernah menepatinya."
Alan berbisik pelan, "Harusnya saat ini Farrel langsung membungkan Anna dengan bibirnya, percintaan panas selalu berhasil memperbaiki masalah."
"Itu khusus untukmu saja." Retha balas menanggapi.
"Aku serius, kekuatan bersetubuh benar-benar manjur menyelesaikan konflik apapun. Kau tidak pernah mencobanya?"
"Tidak."
"Sudah kuduga, kau kan cupu." Alan meringis kecil saat Retha mencubit lengannya.
"Aku menyesal menemuimu saat di pesta!!"
Bantingan pintu keluar mengakhiri argumen itu, beberapa menit Alan akhirnya mengecek keluar, aman.
Retha menggeleng tak menyangka, "Itu tadi sangat.."
"Liar." Alan melengkapi kalimatnya, "Aku tak tau Anna yang tenang bisa menyamai kemarahanmu. Seperti singa betina."
Retha melempar bantal UKK padanya dengan kesal, "Pokoknya apa yang kita dengar sekarang, anggap saja tak pernah ada. Kita tidak berada disini saat mereka bertengkar, mengerti?"
Alan mengangguk patuh, menutup mulutnya erat sesuai perintah Retha.
"Bagaimana menurutmu, Capt?"
Meminum minumannya hingga tandas, Alan bertanya, "Apa?"
"Kita berencana menyerang kampus XX, kami butuh arahanmu sebagai ketua."
"Batalkan." Alan melambai malas.
"Kenapa?!"
"Kita sudah besar, tak ada waktu untuk hal kekanakan begitu. Memangnya jika kalian menyerbu kesana keadaan Denov akan kembali semula? Aku tidak ingin tim kita di cap buruk hanya karena beberapa dari kalian punya ego selangit yang perlu dipuaskan. Jika ada masalah selesaikan dengan sewajarnya, kalau masih mau tetap bergerak, jangan pernah bawa nama tim basket kampus."
Alan bangkit, bersalaman singkat dengan timnya dan berlalu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enemy with Benefits⚠️
Romance🔞MATURE CONTENT - ADULT ROMANCE🔞 [BEBERAPA PART DI PRIVATE, FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!] (SEDANG DALAM REVISI BESAR-BESARAN) "Apa yang kau lakukan?!" Retha berbisik garang, suaranya terdengar serak saat jari-jari Alan menepikan dalamannya di bawah m...