chapter 53

230 30 1
                                    

Author POV

Hari demi hari berlalu, dan suasana di sekitar mereka semakin tegang. Di langit, malaikat-malaikat itu satu persatu mulai menampakkan sayap-sayap mereka yang cemerlang, membawa senyuman manis yang terlihat indah namun penuh tipu daya. Setelah banyak berdiskusi dan mempertimbangkan berbagai opsi, mereka menyadari bahwa mereka harus mengambil langkah drastis demi melindungi Luxi dan semuanya dari ancaman ini.

Dengan berat hati, mereka semua sepakat untuk menyembunyikan Luxi di tempat yang bahkan malaikat tertinggi sekalipun tidak bisa menjangkaunya. Bell, dengan segala kemampuan sihirnya, melakukan ritual yang paling sulit dan berisiko: menyegel Luxi dalam peti mati yang hanya bisa dibuka dari dalam oleh Luxi sendiri.

Di sebuah ruangan yang terpencil, mereka menyiapkan peti mati itu. Terbuat dari bahan yang tidak bisa dihancurkan oleh kekuatan surgawi atau iblis, peti itu dihiasi dengan rune-rune kuno yang memancarkan cahaya redup. Bell berdiri di samping peti itu, wajahnya serius, penuh konsentrasi.

Giselle mendekati Luxi yang masih terbaring tak berdaya. Dengan lembut, dia menyentuh wajah Luxi, berharap bisa merasakan sedikit kehangatan dari kulitnya yang dingin.

"Aku minta maaf, Luxi. Ini adalah satu-satunya cara untuk melindungimu. Aku berjanji, akan menunggumu, tak peduli berapa lama waktu yang diperlukan." ucap Giselle, suaranya penuh kesedihan.

"Luxi aku tahu kau akan kembali pada kami." ucap Haley dengan ata berkaca-kaca.

"The world still needs you, my little sister" ucap Bell menunduk dengan penuh penghormatan di hadapan Luxi.

Saat ritual penyegelan hampir selesai, Giselle memutuskan untuk membawa Mavis yang baru berusia tiga bulan untuk mengucapkan selamat tinggal terakhirnya kepada Luxi. Bayi kecil itu belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, tetapi naluri dan perasaannya yang murni seolah bisa merasakan betapa pentingnya momen ini.

Giselle menggendong Mavis mendekati peti, hati-hati agar tidak mengganggu Bell yang tengah menyelesaikan mantra terakhirnya. Wajah Mavis yang polos memandang Luxi dengan mata besar yang penuh rasa ingin tahu. Giselle menurunkan Mavis sedikit, memungkinkan bayi itu untuk meraih dan menyentuh pipi Luxi yang terbaring dalam kedinginan.

Ketika tangan mungil Mavis menyentuh kulit Luxi yang dingin, dia terdiam sejenak, seolah merasakan sesuatu yang asing namun familiar. Bibir kecilnya bergetar, seolah ingin menangis, meskipun ia masih terlalu muda untuk sepenuhnya memahami perasaan yang melingkupinya. Sentuhan itu sangat lembut, penuh keinginan untuk mendekat, seolah Mavis berusaha mengingatkan Luxi bahwa dia ada di sana. Giselle merasa hatinya hancur melihat pemandangan itu. Dia menunduk, mencium kepala Mavis dengan penuh kasih sayang.

"im sorry Mavis, daddy mu harus pergi sebentar, tapi daddy bakal kembali, pasti akan kembali." Ucap Giselle berusaha menahan air matanya.

Mavis tidak bisa memahami kata-kata itu, tetapi dia merasakan kesedihan yang ada di sekitarnya. Dia merengek pelan, suara kecilnya menggema di ruangan itu. Giselle memeluknya erat, mencoba menenangkan bayi itu meskipun dirinya sendiri merasa sangat terluka.

Bell menyelesaikan mantra terakhirnya, dan peti mulai bergerak, perlahan-lahan menutup. Cahaya dari rune-rune di peti semakin terang, menyelimuti Luxi dalam perlindungan magis. Giselle membawa Mavis mundur, menjauh dari peti yang kini sepenuhnya tertutup dan tersegel.

Ketika peti itu tertutup dengan suara berat yang menandai akhir dari ritual, Mavis mengulurkan tangannya yang kecil ke arah peti, seolah mencoba menjangkau Luxi yang kini telah tersembunyi dari dunia luar. Bibirnya bergetar lagi, dan meskipun dia tidak menangis dengan keras, ada kesedihan yang dalam terpancar dari mata polosnya.

Seeking Life In A World Of The UndeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang