Shaza tahu ada yang salah dari raut kedua orang tuanya. Alih-alih mendapat senyuman dan pelukan hangat atas pencapaian yang baru saja ia raih. Justru pandangan kosong tak dapat diartikan yang ia dapatkan. Kedua sudut bibir Shaza yang semula tertarik ke atas, kini kembali ke tempat semula.
"Ma, Pa, aku berhasil masuk ke kampus impianku," ujarnya sekali lagi, berharap mendapat respons yang berbeda. Namun, hasilnya tetap sama.
"Mama ke kamar dulu." Inggid setengah berlari memasuki kamar.
Sementara Januar mendekati Shaza yang kebingungan, ia tepuk-tepuk bahu putri bungsunya itu. "Selamat ya, Sayang. Mama mungkin juga kaget. Kamu masuk dulu sana ke kamar. Biar Papa yang ngomong sama Mama, kita cari jalan keluarnya gimana."
Kening Shaza semakin menekuk ke dalam. Belum sempat ia bertanya, Januar sudah lebih dulu menyusul Inggid ke kamar. Kepala Shaza dipenuhi tanda tanya saat ini. Karena ia pikir Inggid dan Januar akan menghargai hasil jerih payah selama dua tahun ia tidak menyerah dengan mimpinya. Namun, kenapa orang tuanya seperti tidak merasakan hal yang sama dengan yang ia rasakan.
Shaza masih berada di tempat semula, sulit untuk melangkah kembali ke kamar karena dia memikirkan banyak hal buruk tentang kedua orang tuanya. Shaza tidak ingin berlarut-larut, ia ingin segera meluruskan ini dengan kedua orang tuanya, mungkin pikiran buruk itu hanyalah prasangka Shaza saja. Oleh karena itu, ia berniat mengklarifikasi saat ini juga.
Beberapa langkah lagi akan membawa Shaza sampai di kamar kedua orang tuanya. Sayup-sayup suara isakan terdengar dari dalam karena pintu kamar tidak tertutup rapat. Shaza mempercepat laju jalannya, tidak menyangka suasananya lebih serius dari yang ia duga. Akan tetapi, kedua kaki Shaza seketika tidak dapat bergerak lagi ketika mendengar namanya disebut-sebut. Tepat satu langkah dari kamar, membuat percakapan Inggid dan Januar terdengar semakin jelas.
"Kenapa dia harus keterima sih, Pa?!" Inggid kembali terisak. "Karena dua kali nggak keterima, aku kira dia bakal nyerah."
"Mama kan tau sendiri Shaza anaknya gimana. Dari dulu kita udah suruh dia kuliah di sini aja, tapi dia nggak pernah dengar."
"Ya, tapi, Pa ... Mama nggak mau Shaza kuliah di sana. Mama nggak mau Shaza pergi merantau ke luar kota sendiri. Selamanya aku nggak akan kasih izin!"
"Iya, Papa ngerti perasaan Mama. Papa juga berat hati buat ngelepas anak kita satu-satunya, tapi Papa juga nggak tega ngeliat usaha Shaza selama ini. Papa nggak pengen dia ngerelain mimpinya karena kita, Ma."
"Lebih baik dia benci aku karena menghalangi mimpinya, daripada aku harus kehilangan Shaza! Aku ngelakuin ini semua buat dia, Pa."
"Husst, istighfar, Ma. Papa tau alasan Mama setakut ini, karena Papa juga ngerasain hal yang sama, tapi mengekang Shaza juga bukan solusi, Ma. Kita pikirin dengan tenang jalan keluar buat masalah ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day You Came [END]
RomanceShaza merasa sudah gila ketika menuruti permintaan orang tuanya untuk menikah demi mendapatkan restu berkuliah di luar kota. Lebih gilanya lagi, dia akan menikah dengan mantan tunangan Shania-kakaknya yang telah meninggal dunia. Shazana Nareswari t...