Shaza merasa sudah gila ketika menuruti permintaan orang tuanya untuk menikah demi mendapatkan restu berkuliah di luar kota. Lebih gilanya lagi, dia akan menikah dengan mantan tunangan Shania-kakaknya yang telah meninggal dunia.
Shazana Nareswari t...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
💬 ada info penting tentang book ini, baca sampai akhir ya!! thanks 🥰
Jika dibilang menyesal, Shaza tidak menemukan perasaan itu setitik pun di hatinya ketika bangun. Rasa malu lebih mendominasi, disusul dengan perasaan nyaman yang tidak mampu disangkal. Berada dalam pelukan Prad membuatnya tenang dan berdebar secara bersamaan. Semalam penuh laki-laki itu merekatkan tangan di pinggang Shaza erat, tidak bergerak sedikit pun. Sampai Shaza takut bagaimana jika Prad merasa pegal atau kesemutan, karena dia pun merasa seperti itu. Shaza ingin berganti posisi, tapi ada perasaan tak rela jika pelukan Prad terlepas, maka dia hanya diam saja.
Memikirkan Prad membuat Shaza tersadar keberadaan laki-laki itu nihil. Kasur lipatnya sudah tidak terlihat. Berdasarkan rutinitas setiap hari, laki-laki itu saat ini sedang lari pagi mengelilingi kompleks. Oleh karena itu, Shaza mencuci wajah, bersikat gigi dan turun ke bawah tanpa mengganti pakaian semalam.
Rencana Shaza mengambil buah di kulkas untuk sarapan urung ketika melihat sosok berdiri di dapur. Ia pun malu-malu menghampiri Prad sedang fokus memotong wortel. Nyaris jarinya tergores pisau karena terkejut menyadari kehadiran Shaza.
"Tumben jam segini udah di dapur? Biasanya masih lari pagi." Shaza sengaja menghafal kegiatan Prad sehari-hari agar dia lebih mudah menghindar tidak bertemu.
Prad menyisihkan wortel ke piring kosong, lalu mengambil kubis untuk dieksekusi. "Saya emang masak jam segini, kamunya yang belum bangun," goda Prad menoleh sekilas sambil tersenyum tipis.
Shaza mendelik pada sang suami. "Enak aja. Kadang aku bangun pagi ya! Terus tidur lagi. Terus bangun kedua baru agak siang, tapi 'kan tetep aja intinya aku bangun pagi!"
"Iya, Shaza, iya," jawab Prad terkekeh.
"Kamu mau masak apa hari ini? Sayur sop?" Shaza melirik wortel, kubis, kentang dan seledri tertata rapi di atas kitchen set. Prad mengangguk membenarkan. "Mau aku bantuin nggak?"
"Kentangnya tolong kamu kupasin," pinta Prad sambil menyerahkan kentang dan peeler. Dengan suara lembut ia mengingatkan. "Hati-hati ya pakainya."
Mengangguk patuh, Shaza dengan senang hati menerima. Di rumah dia jarang sekali membantu Inggid, hanya bisa dihitung jari. Selain di rumah ada ART, Inggid tidak pernah memaksanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, beberapa hari ini Inggid menyarankan Shaza untuk belajar memasak.
Selagi mengupas kentang secara hati-hati, Shaza sesekali melirik Prad. "Mas kenapa nggak nyari ART aja? Nggak capek ngurus rumah sendirian?" tanyanya penasaran.
"Saya masih sanggup kerjakan sendiri. Kenapa? Kamu butuh?" tanya Prad.
"Nggak juga sih, cuma nanya aja. Semuanya 'kan udah Mas yang ngerjain. Masak, cuci piring dan beres-beres rumah. Aku jadi nggak enak deh. Kayak beban banget buat kamu. Jadi mikir, Benefit kamu nikahin aku apa sih, Mas?" tanya Shaza terdengar penasaran. Satu kentang yang sudah dikupas ia berikan pada Prad dan mengambil lagi baru. "Kalau aku 'kan jelas. Dengan nikah sama kamu, aku dapat kepercayaan Mama sama Papa buat merantau, tapi seberapa pun aku mikir, aku nggak paham. Apa yang kamu dapat dari pernikahan ini?"