Sebuah usapan lembut pada pipinya dirasakan oleh Shaza, usapan yang semakin membuat perempuan itu mengantuk seperti dininabobokan. Akan tetapi, dengan kesadaran tersisa, ia mengerjap-erjap berusaha melihat sang pelaku yang ia duga adalah orang tuanya.Kantuk Shaza seketika menghilang, tubuhnya refleks bergerak mundur menghindari tangan besar itu dari wajah. Sama terkejutnya, tangan Prad masih mengawang di udara. Mereka saling menatap untuk waktu yang cukup lama, sampai satu di antara mereka memulai pembicaraan.
"Ngapain kamu ada di sini?" tanya Shaza setelah memutus kontak mata. "Kenapa nggak ngabarin kalau mau nyusul hari ini?"
"Memang kamu pulang ke Jakarta mengabari saya dulu?" Prad balik bertanya dengan nada yang membuat pagi ini terasa semakin dingin.
Tanpa perlu melihat, Shaza tahu suaminya itu sedang menahan amarah. Namun, dia juga enggan untuk meredam.
"Aku udah bilang dari awal, aku mau pulang, tapi kamunya lama. Aku bisa pergi sendiri kok tanpa kamu, lihat buktinya aku sampai dengan selamat, 'kan? Jadi kamu nggak usah buru-buru nyusul ke sini, aku nggak minta kamu ninggalin kerjaan cuma buat hal sepele gini. Lebay tau nggak."
Shaza berharap laki-laki itu akan semakin terpancing untuk meluapkan amarah. Prad harusnya merasa kesal dengan jawaban yang ia berikan, bukannya malah menarik Shaza ke dalam pelukan.
Shaza jadi berpikir laki-laki itu takut kehilangan dirinya.
"Jangan seperti ini," pinta Prad suaranya sedikit bergetar. Ia melonggarkan pelukan untuk menatap Shaza dengan matanya yang mulai memerah. "Saya minta maaf kalau tanpa sadar sudah membuat kamu sedih, sampai harus pergi seperti ini. Tapi ... tapi, saya mohon, jangan pergi tanpa sepengetahuan saya, Shaza."
"Siapa yang sedih? Aku baik-baik aja kok."
"Terus kenapa mata kamu bengkak? Kamu pasti habis menangis, 'kan?"
Jejak kesedihan sisa semalam itu ternyata masih membekas. Shaza tidak tahu jika menangis nyaris seharian bisa membuat matanya akan sebengkak ini, karena dalam hidupnya dia juga baru pertama kali menangis selama itu.
"Oh, ini nangis karena bahagia kok. Akhirnya bisa pulang ketemu Mama, Papa," elaknya.
Prad tidak percaya begitu saja, ia kembali memeluk sang istri yang tidak berontak, tetapi juga tidak membalas.
"Kamu nggak usah bohong, saya tau ini pasti ada hubungannya sama Tante Raya dan Tante Dessy. Sejak hari itu kamu keliatan nggak baik-baik aja," duga Prad seraya mengusap punggung Shaza, memberikan kekuatan pada sang istri. "Bilang sama saya, apa yang kamu dengar dari mereka?"
Hening. Shaza tidak berani menatap Prad, merasa laki-laki itu bisa membaca seluruh isi pikirannya. Tidak ada lagi niat untuk meluruskan apa pun, karena bagi Shaza, semua sudah jelas.
"Mereka bilang kalau kamu sangat bangga sama aku. Katanya, aku istri yang tepat buat kamu walaupun banyak kurangnya, tapi di usia segini pemikiranku udah dewasa, jadi bisa mengimbangi kamu, aku juga istri yang pengertian bisa tau semua tentang kamu, aku bisa ngurus kamu, ngurus rumah tangga kita dengan baik. Pokoknya kita berdua itu cocok, Mas. Kayak emang udah ditakdirkan buat bersama," jelas Shaza bersemangat memaksakan senyuman. "Iya, ini takdir kita, Mas," sambungnya lirih dengan sendu tidak tertutupi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day You Came [END]
RomanceShaza merasa sudah gila ketika menuruti permintaan orang tuanya untuk menikah demi mendapatkan restu berkuliah di luar kota. Lebih gilanya lagi, dia akan menikah dengan mantan tunangan Shania-kakaknya yang telah meninggal dunia. Shazana Nareswari t...