bab tiga puluh delapan

2.6K 231 25
                                    

Jika bisa, Shaza tidak ingin ikut Prad kembali Yogyakarta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jika bisa, Shaza tidak ingin ikut Prad kembali Yogyakarta. Dia tidak sanggup berada di samping laki-laki itu setelah secara sadar Prad membohonginya, Shaza tidak bisa bertingkah seakan baik-baik saja di depan sang suami.

Air matanya seolah ingin luruh tiap kali ia menatap Prad, tetapi Shaza tidak ingin menunjukkan kesedihan di depan laki-laki itu. Meski ia yakin, Prad merasakan perbedaan dirinya beberapa hari ini, karena Prad tampak lebih berhati-hati pada Shaza.

"Sayang, mau makan apa?" tanya Prad begitu tiba di rumah pribadi mereka.

Tanpa menoleh, Shaza menggeleng. "Masih kenyang tadi makan masakan Mama. Aku mau langsung istirahat aja, boleh?"

"Boleh, Sayang." Prad melepaskan rangkulannya. "Saya taruh tas dan bersih-bersih sebentar, nanti saya nyusul ke atas ya?"

"Nggak usah," tolak Shaza seraya membuang muka. "Aku pengen tidur sendiri."

Prad terkejut mendengar jawaban Shaza, tetapi dia tidak menolak meski sebenarnya keberatan. "Oke, tapi kalau kamu butuh sesuatu, panggil saya di bawah ya?" Ia menarik Shaza ke dalam pelukan. "Jangan pergi lagi tanpa seizin saya seperti kemarin."

Shaza tidak membalas, hanya diam saja sampai Prad melepaskan pelukan dan mengusap rambutnya pelan.

Setelah beberapa langkah menjauh, Shaza berputar kembali melangkah ke arah Prad yang masih berada di sana, sedang memperhatikan istrinya dari kejauhan.

Dia berdiri di hadapan Prad dengan kepala menunduk. "Mas," panggilnya pelan.

"Apa, Sayang?"

"Ada yang mau kamu ceritain nggak ke aku? Ehm ... hal yang mungkin kamu kelupaan nggak ngasih tau aku?" pancing Shaza.

Namun, Prad tidak memberikan respons yang ia harapkan.

"Sepertinya sudah saya ceritakan semua." Prad memberikan tatapan bingung. "Atau kamu ingin dengar sesuatu dari saya?"

Kepala Shaza tidak tergugah untuk mengangguk. Ia sudah memberikan kesempatan agar laki-laki itu berkata jujur, haruskan ia memohon sekali lagi?

Bukankah kejujuran bukanlah sesuatu yang Shaza inginkan, melainkan keharusan yang Shaza dapatkan.

"Nggak ada. Lupain aja, Mas."

Secepat kilat ia membalikkan badan agar Prad tidak melihat betapa kecewanya perasaan Shaza sekarang.

Shaza rasa pikirannya sudah sangat kacau. Harusnya dia meneruskan langkahnya menuju kamar, tolong dia sudah berada di pertengahan anak tangga, wajahnya pun telah dibasahi air mata.

Namun, mengapa dengan tidak tahu dirinya ia justru kembali turun dan berlari ke arah Prad. Yang sialnya, laki-laki itu juga tidak beranjak dari sana. Seakan bisa memprediksi isi kepala Shaza.

Tidak ada yang ingin Shaza katakan selain memeluk Prad hingga tubuhnya terhuyung nyaris terjatuh. Tanpa memberi jeda untuk Prad buka suara, Shaza membungkam bibir Prad dengan bibirnya.

The Day You Came [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang