bab tujuh belas

3.5K 235 18
                                    

Usai persetujuan memperbarui hubungan yang telah dibuat, Prad dengan segala kecerdikannya melancarkan rencana untuk bisa tidur di kamar sang istri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Usai persetujuan memperbarui hubungan yang telah dibuat, Prad dengan segala kecerdikannya melancarkan rencana untuk bisa tidur di kamar sang istri. Ia coba peruntungan, jika memang tidak bisa setelah beberapa percobaan, Prad akan menghargai pilihan istrinya. Namun, di sisi lain Shaza ternyata tidak keberatan meski harus melawan gengsinya. Dia tidak ingin langsung menyetujui permintaan Prad, karena tidur bersama laki-laki itu membuatnya tidak tenang, tapi tanpa kehadiran Prad justru membuat Shaza tidak bisa tidur.

Setelah dilema panjang, Shaza memutuskan untuk memberi izin Prad tidur di kamarnya dengan syarat, kamar itu tetap miliknya. Prad hanya boleh datang saat malam hari untuk tidur, barang-barang Prad tetap berada di kamar bawah dan terpenting, Shaza ingin Prad menjaga sikap. Laki-laki itu tidur seranjang bersama sang istri, tidak lagi tidur di kasur lipat, karena Shaza tidak tega. Namun, sebagai gantinya Shaza melarang Prad untuk memegang apalagi memeluknya. Jika sekali dia melakukan itu, Shaza mengancam akan membatalkan izinnya. Prad sedikit keberatan, tapi tidak membantah. Merasa bersyukur setidaknya diberi kesempatan untuk tidur bersama perempuan itu.

"Mas Prad," panggil Shaza mengecek apakah sang suami masih terjaga, karena sekarang dirinya tidur membelakangi Prad. Mendengar dehaman dari laki-laki itu, Shaza pun melanjutkan, "minggu depan aku udah mulai ospek."

"Iya, saya tau. Tugasnya sudah keluar? Butuh apa saja yang perlu disiapkan?" tanya Prad siap membantu.

"Udah, dari minggu kemarin malah, tapi aku sama Regi janjian ngerjainnya besok. Soalnya tugasnya nggak begitu banyak sih, cuma beli caping terus dicat, beli dasi hitam, sama bikin id card." Shaza membalikkan badan menatap Prad penuh. "Boleh ya besok aku ke kosnya Regi buat ngerjain itu semua? Kamu nggak kasian apa, waktunya udah mepet, Mas."

Tanpa berpikir dua kali, Prad mengangguk. "Boleh, Shaza. Janjian jam berapa?"

Padahal Shaza sudah menyiapkan alasan apabila Prad melarang, mengingat kejadian saat mengambil almamater, Shaza kira Prad tidak akan semudah itu memberikan izin. Mendapat kepercayaan dari sang suami membuat hatinya berbunga.

"Jam delapan."

"Kos teman kamu daerah mana? Biar saya antar sekalian berangkat kerja."

"Kaliurang, Mas. Ini liat deh alamatnya." Shaza mengambil gawainya, membuka lokasi yang dikirim Regi untuk diperlihatkan pada Prad. "Nggak jauh-jauh banget, 'kan? Kalau aku naik ojek kayaknya lebih praktis daripada ngerepotin kamu," rayunya.

"Nggak ngerepotin, Shaza. Masih sempat kok kalau nganter kamu dulu."

"Ta-tapi, Mas." Terbata-bata Shaza ingin mengatakan keinginannya, tetapi ia memutuskan untuk membatalkannya karena yakin tidak mendapat izin. "Hm, ya udah deh." 

Shaza membalikkan badan, kembali memunggungi Prad. Tidak ingin menunjukkan sedikit kekecewaannya.

"Kamu pengen naik ojek ke sana?" tanya Prad membuat Shaza seketika menoleh dan mengangguk tanpa ragu. Melihat mata istrinya penuh binar permohonan, Prad tidak tega mematahkan harapan kecil sang istri. "Oke, saya kasih izin."

The Day You Came [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang