bab tiga puluh

4.2K 258 16
                                    

Telapak tangan Regi langsung mendarat di kening Shaza begitu perempuan itu berlari ke arahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Telapak tangan Regi langsung mendarat di kening Shaza begitu perempuan itu berlari ke arahnya. Mereka tidak sengaja berpapasan di depan gedung fakultas, Regi yang hendak masuk, melihat Shaza dari kejauhan sedang tersenyum. Tidak ada yang salah, sampai Regi melihat perempuan itu terus tersenyum dan berlari sambil sesekali melompat.

"Badan lo panas, Sha. Gue emang udah curiga dari tadi. Kita ke rumah sakit sekarang," ajak Regi menggandeng tangan Shaza.

"Sembarangan. Gue udah sembuh ya. Nggak liat lo gue udah bisa lari sama lompat-lompat kayak tadi? Udah sehat bugar gue, Re. Disuruh ngapain aja juga ayo, keliling kampus? Keliling Sleman? Keliling Yogya? Keliling dunia? Gas!"

"Gas-gas, kepala lo gue getok tabung gas!" Regi bergidik ngeri. Semakin mengenal Shaza, dia semakin menyadari perempuan itu tidak jauh berbeda darinya. "Lo sehat, tapi otak lo kayak nggak waras. Kenapa sih senyum-senyum mulu? Kesambet lo?"

"Ih, Regi mulutnya." Shaza bergeleng meledek. "Lo nggak seneng emang ngeliat gue happy?"

"Happy sama gila beda tipis. Gue mah ikut seneng kalau lo seneng, tapi ini serem banget. Minggu kemarin lo stressnya kayak istri yang lagi berantem sama suami, eh sekarang tiba-tiba kayak habis baikan terus disayang-sayang sama suami," celoteh Regi.

Senyum di wajah Shaza luntur. Ia memegang kedua pundak Regi, menatapnya serius. "Lo tau dari mana? Lo selama ini cenayang, Re?"

"Wah, udah gila beneran ini orang. Gue, 'kan, cuma what if alias nggak mungkin alasan beneran karena itu."

"Oh, haha, iya bener." Shaza melepas tangannya dari pundak Regi sambil tertawa canggung. "Udahlah, nggak usah dibahas. Intinya gue emang lagi seneng, tapi gue nggak gila ... doain aja." Ia gandeng tangan Regi menuju lift. "Sadam sama Ansel kok belum dateng? Seneng banget berangkat mepet-mepet."

"Pasti Sadam yang lelet, Ansel mah terlalu rajin buat telat." Pintu lift terbuka, kini giliran mereka masuk berbarengan dengan beberapa orang lain yang tidak begitu diperhatikan. Yang terpenting tombol lantai tiga sudah dipencet, jadi dua perempuan itu lanjut mengobrol. "By the way, gimana perkembangan lo sama Ansel? Abis insiden jatuh bareng kemarin, hatinya ikut jatuh bareng nggak? Gue denger sendiri, Ansel telepon gue kayak mau nangis, Sha. Tiap hari cerita ke gue, pengen jengukin lo, tapi nggak boleh. Dia tuh beneran suka sama lo. Coba deh, buka hati sama yang ini. Kata gue nggak rugi."

Memang salah Shaza yang terus menunda-nunda untuk memberi tahu teman-temannya, kecuali Ansel. Namun, dia merasa belum menemukan waktu yang cocok. Terutama di dalam lift dengan banyak orang asing, tentu bukan pilihan yang tepat.

"Nggak bisa deh, Re. Dia terlalu baik buat gue."

"Dih, terus lo maunya cowok yang red flag gitu?"

"Ya, nggak gitu juga. Gue maunya cowok yang ..." Kayak Mas Prad, sambungnya dalam hati.

Obrolan mereka terhenti setibanya di lantai tiga, Regi dan Shaza terburu berjalan keluar dari lift.

The Day You Came [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang