bab dua puluh sembilan

3.2K 211 22
                                    

Menuruti permintaan sang suami, di pagi buta Shaza sudah duduk di kursi penumpang dengan mata terkantuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menuruti permintaan sang suami, di pagi buta Shaza sudah duduk di kursi penumpang dengan mata terkantuk. Keduanya benar-benar pergi dari rumah Salim saat langit di luar masih gelap. Shaza kira Prad mengajaknya mengendap-endap pergi, tetapi laki-laki itu menitipkan salam pada orang tuanya pada ART yang kebetulan sudah bangun dan membantu Prad memasukkan barang bawaan ke bagasi.

Shaza tidak terlalu ambil pusing, karena dia belum sepenuhnya sadar, bahkan setelah mencuci wajah dan bersikat gigi, kantuk itu masih memberatkan matanya sehingga Prad menyuruh Shaza kembali tidur dan akan dibangunkan saat sampai.

Jika mengikuti etika, Shaza harusnya menolak saran tersebut dan menemani pengemudi. Sayangnya mata Shaza tidak bisa diajak berkompromi dan terus terpejam sepanjang perjalanan, lagipula jarak rumah mertua dan rumah mereka tidak terlalu jauh, pikir Shaza.

Terlalu nyenyak Shaza tidur sampai tidak sadar mobil sudah terparkir di tempat tujuan. Prad sengaja tidak membangunkan sang istri sampai terdengar suara panggilan untuk beribadah. Prad mengusap lembut pipi istrinya.

"Shaza, ayo bangun. Kita udah sampai," ujar Prad. "Kita salat dulu yuk, Cantik."

Mendapat sentuhan dingin tangan sang suami, Shaza pun mengerjap perlahan. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul ia mengangguk. "Gendong, Mas," pinta Shaza, matanya setengah terpejam.

Sebelum turun, Prad mengambil jaket yang telah ia siapkan di kursi tengah. Ia bukakan pintu untuk sang istri dan memakaikan jaket tersebut, lalu digendongnya Shaza yang masih memejamkan mata.

"Lho kenapa, Mas? Mbaknya pingsan ta?"

"Oh, mboten, Pak. Cuma masih ngantuk." (Nggak)

Mendengar Prad tengah mengobrol dengan suara asing yang membahas dirinya, sontak Shaza membuka mata. Keningnya berkerut karena bukan atap rumah yang ia lihat pertama kali, melainkan langit-langit yang masih gelap. Shaza mengalihkan pandangan menelusuri sekitar dan dirinya semakin merasa asing.

"Mas, kita di mana?" tanya Shaza membuat Prad yang tidak menyadari dirinya sudah bangun pun terkejut. "Ini bukan rumah kita, 'kan?"

"Bukan, kita sekarang di basecamp lava tour merapi," jawab Prad tenang.

Berbeda dengan Shaza yang detik itu melompat dari gendongan Prad, nyaris terjatuh jika sang suami tidak cekatan memeganginya. Kantuk yang ia rasakan langsung hilang ketika menemukan tulisan di gapura berukuran sedang. Prad tidak berbohong, mereka benar-benar berada di tempat yang ia sebutkan.

"Kamu bercanda, 'kan? Bisa-bisanya bawa aku ke sini tanpa ngasih tau dulu?" Shaza mengerjap tidak percaya.

"Saya ingin buat kejutan." Prad meneliti wajah Shaza yang terdiam. "Maaf, kamu kurang suka ya? Saya ingin menepati janji saya membawa kamu ke sini."

Shaza menggeleng cepat. "Nggak, aku suka banget kok. Cuma otakku masih ngefreeze kayaknya," balasnya, lalu menatap Prad nyalang. "Ide siapa sih pakai kejutan segala?" Prad menunduk tidak menjawab. Melihat suaminya yang tampak menyesal, Shaza pun mendekat dengan tatapan lembut. "Maksud aku, kejutannya berhasil, Mas. Aku sampai speechless. Akhirnya aku bisa ke sini juga!"

The Day You Came [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang