Shaza merasa sudah gila ketika menuruti permintaan orang tuanya untuk menikah demi mendapatkan restu berkuliah di luar kota. Lebih gilanya lagi, dia akan menikah dengan mantan tunangan Shania-kakaknya yang telah meninggal dunia.
Shazana Nareswari t...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terhitung empat hari perempuan itu melihat pemandangan mobil hitam setiap membuka jendela kamar. Mobil itu akan bergerak jika Shaza keluar bersama Regi.
Tidak perlu dijelaskan, sudah pasti Prad adalah pelakunya.
Laki-laki itu menginap di kos harian yang jaraknya hanya dua rumah dari kosan Regi. Prad tidak memiliki niatan seperti itu, mulanya dia berencana untuk menginap di mobil, tetapi saat berkeliling memastikan lingkungan sekitar benar-benar aman untuk istrinya menginap, Prad tidak sengaja menemukan kos-kosan untuk perempuan dan laki-laki. Beruntungnya lagi, masih tersedia beberapa kamar.
Hal yang tidak Shaza perkirakan sebelumnya. Dia tidak berpikir sejauh itu. Inginnya hanya lari dari Prad dan tidak melihat laki-laki itu.
Memang benar, Prad menepati ucapannya. Dia tidak menampakkan diri secara langsung di depannya walaupun jarak mereka tidak sejauh itu, tidak juga menghubungi meskipun nomor Prad tidak ia blokir, tapi Shaza bisa merasakan kehadiran laki-laki itu setiap waktu.
Mungkin ini sedikit aneh untuk dikatakan, tapi Shaza tidak merasa risih dengan itu. Entah mengapa, Shaza justru merasa aman.
"Tutup jendelanya biar nggak ada nyamuk masuk," perintah Regi membuyarkan lamunan Shaza. Perempuan itu sengaja menambahkan dengan nada menggoda. "Atau lo mau terus di sana, liatin suami lo dari jauh."
"Siapa juga yang liatin. Orang gue lagi nyari angin kok. Kamar lo pengap!" elak Shaza tidak terima. Buru-buru ia menutup jendela dan bergabung tidur di sebelah Regi.
"Duh santai aja kali, sensi amat yang lagi kangen." Regi tertawa jahil saat Shaza memelototinya. "Gue lama-lama ngakak juga liat situasi kalian. Apaan istrinya kabur, tapi malah dianterin plus ditemenin suaminya. Kalau kita ada kelas pagi, dia pasti dikawal dari belakang. Atau pas pulang kuliah, tiba-tiba aja ada mobil laki lo di belakang. Dan gue sampai rekor empat hari nggak perlu nyari makan di luar, soalnya suami lo selalu delivery biar istrinya nggak kelaperan. Ini berantem model apa sih?"
Jangankan Regi, Shaza pun bingung harus menjawab apa.
"Makanya nggak usah diterima makanan dari dia. Kita keluar aja besok. Biar gue kerasa beneran kaburnya."
"Mana gue tau, waktu itu, 'kan, anak lantai satu yang nerima. Terus gue yakin lo nggak bakal mau makan, jadinya gue balikin langsung aja ke laki lo. Bego banget dia masih keliaran di depan kos."
Shaza terkejut baru mendengar cerita tentang itu. "Lah, lo ketemu sama Mas Prad?"
"Iya, hehe, tapi, jangan marah, Sha." Regi tertawa menutupi canggung. Sadar raut Shaza berubah masam, ia buru-buru menjelaskan. "Beneran gue nggak ada niatan dari awal. Waktu itu habis kita cerita-cerita, kita kan ketiduran. Nah gue dibangunin sama Mbak Fafa—yang di lantai satu, ada orang nganterin makanan. Nah, dari sana gue samperin suami lo buat marahin dia lah."
"Oh, terus kenapa lo nggak cerita? Kenapa kemarin baru ngomong, kalau makanan yang lo pesen selama ini dari Mas Prad? Tau gitu gue nggak bakal mau makan," keluhnya kesal. "Sejak kapan sih lo kerja sama bareng dia?"