bab dua

6.7K 396 49
                                    

Sifat keras kepala Inggid itu menurun pada anak bungsunya, Shaza

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sifat keras kepala Inggid itu menurun pada anak bungsunya, Shaza. Namun, tingkat Shaza seharusnya satu tingkat di bawah Inggid. Karena meskipun Shaza paling mudah marah menggebu-gebu dan kesusahan bertutur manis dan lembut seperti Shania, tetapi hati Shaza adalah hati paling lembut di keluarga ini. Oleh karena itu, setelah perdebatan antara dirinya dan Inggid, rasa bersalah hinggap di benak perempuan itu. Seharusnya dia tidak mengungkit luka keluarganya yang sampai sekarang belum terobati.

Shania Maharani adalah putri sulung di keluarga mereka. Berusia sepuluh tahun dari Shaza, kakaknya itu seperti panutan yang tidak pernah mengecewakan kedua orang tuanya. Sejak kecil, Shaza sering mendengar Shania memiliki paras yang menawan, banyak laki-laki tertarik padanya, tetapi Shania memilih sibuk menorehkan prestasi-prestasi gemilang dalam bidang akademik.

Seusai menyelesaikan studinya, Shania bertunangan dengan anak dari sahabat Inggid yang kebetulan satu kampus dan berteman dengan Shania. Hingga di mata Shaza, Shania menjalani kehidupan yang paling sempurna. Januar dan Inggid tidak pernah mengatakan tidak pada permintaan Shania. Karena berbeda dari Shaza, Shania adalah anak yang sangat penurut dan hidupnya lurus-lurus saja. Maka dari itu, Januar dan Inggid memberikan kepercayaan penuh kepada Shania. Termasuk permintaan perempuan itu untuk menunda pernikahannya karena ia ingin melanjutkan program studi magister di Surabaya.

Awalnya Januar dan Inggid sedikit keberatan dan menyarankan untuk melangsungkan pernikahan terlebih dahulu. Namun, Shania menolak. Setelah diskusi panjangh, dua keluarga pun memutuskan untuk menundanya. Karena kebetulan calon suami Shania pun juga melanjutkan studinya di Yogyakarta. Semua berjalan dengan baik seperti biasa. Tidak ada hal yang mencurigakan selama mereka sesekali ke Surabaya untuk melihat kondisi putrinya.

Hingga pada suatu malam, mereka mendapat telepon dari rumah sakit mengabarkan kondisi Shania yang telah tiada. Shaza masih ingat, malam itu dia sedang belajar karena besok adalah hari pertama ujian akhir semester. Namun, Januar dan Inggid berteriak seperti orang kesetanan menyuruhnya untuk segera berkemas pergi ke Surabaya. Hari itu adalah hari yang mengubah keluarga dan hidup Shaza.

Lima tahun terlalu berlalu, tetapi tidak satu pun dari mereka benar-benar lupa. Mereka hanya berpura-pura bahwa semua telah baik-baik saja. Belum juga luka lama terobati dengan sempurna, luka baru datang karena tanpa sadar mereka saling melempar rasa sakit dari kehilangan.

Mengingat tentang Shania sama saja dengan mengorek-ngorek luka. Oleh karena itu, sebisa mungkin mereka tidak membahas topik pembicaraan yang merujuk ke Shania. Sehingga perkataan Shaza kemarin yang dengan lantang menyebut bahkan mengingatkan kembali apa yang telah dialami oleh kakaknya membuat perempuan itu kembali merenung di kamar. Sebesar amarah Shaza pada Inggid dan Januar, sebesar itu pula rasa bersalahnya pada mereka.

Di tengah lamunan, Shaza mendengar derit pintu kamarnya terbuka. Ia terkesiap melihat Januar berdiri di ambang pintu. Sudah tiga hari dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun pada kedua orang tuanya. Inggid pun jarang terlihat dan hanya diam saja.

The Day You Came [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang