bab dua puluh satu

4.4K 299 100
                                    


GOOD NEWS

10.000 readers 🔓
1.000 votes 🔓

big big big thanks buat kalian yang udah baca dan mengapresiasi ceritaku. sebagai rasa terima kasihku, aku mau ngasih special chapter buat kalian. i guarantee you'll keep smiling while reading it 🦋

special chapternya for free alias gratis tis tis,
tapi kalian harus vote dan comment yang aktif supaya bisa unlock special chapter


aku nggak masang target, tapi semakin aktif maka semakin cepat aku up

jadi bisa yuk tinggalkan jejak 👣

*yang mau lihat spoiler special chapternya, aku taruh di akhir bab ini*


Hal terakhir yang Shaza ingat adalah dirinya terpental, lalu semua menjadi gelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hal terakhir yang Shaza ingat adalah dirinya terpental, lalu semua menjadi gelap. Saat ia membuka mata pertama kali, dia sedang berada di mobil Ansel. Secara samar Shaza melihat darj kursi tengah, laki-laki itu mengemudi mobil dengan raut panik. Belum sempat ia membuka suara, ingin memanggil Ansel, tetapi kesadarannya kembali hilang, ia pingsan untuk ke dua kali.

Entah sudah berapa lama ia menutup mata, kini kesadarannya lambat laun kembali. Suara langkah kaki tergesa-gesa, cairan infus yang menetes dan percakapan yang bercampur jadi satu, semakin jelas masuk e indera pendengaran Shaza. Kelopak mata yang sebelumnya terasa berat, perlahan terasa ringan untuk dibuka. Shaza mengerjap-ngerjap untuk adaptasi, begitu cahaya lampu menusuk pengelihatannya.

Silau sinar cahaya itu mendadak hilang, tertutupi oleh sosok menjulang tinggi yang sekarang mengamati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Laki-laki itu terlihat berantakan, kancing kemeja teratasnya dibiarkan terbuka, lengan ditekut sampai siku dan rambutnya pun tidak beraturan.

"Kamu dengar suara saya, Shaza?" tanyanya dengan nada khawatir.

Shaza merasakan tangannya digenggam lembut dengan erat. Ia rindu sekali merasakan kehangatan ini. Ingin ia membalas genggaman tersebut, tetapi tangannya masih terasa lemas. Shaza pun hanya bisa mengangguk lemah.

"Mas Prad," panggil Shaza lirih karena tenggorokannya terasa kering. Saat Prad menunduk setengah badan, seakan siap mendengar apa pun yang akan ia katakan. "Kenapa kamu bisa ada di sini? Ansel mana?"

Sontak tubuh Prad tertarik mundur, dalam sekejap raut panik dan khawatir menghilang seakan-akan hanya ilusi. Dengan nada dingin ia berkata, "saya panggil Dokter dulu."

Bersamaan dengan itu, Prad mengendurkan tangannya hingga tautan erat itu terlepas. Shaza tidak memiliki tenaga cukup kuat untuk menahan laki-laki itu yang punggungnya kini semakin menjauh dari pandangan.

The Day You Came [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang