bab dua puluh enam

3.5K 264 8
                                    

Hari-hari Shaza berjalan dengan normal walaupun saat bertemu Regi pertama kali setelah kecelakaan, perempuan itu menangis tersedu-sedu seolah Shaza sedang kritis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hari-hari Shaza berjalan dengan normal walaupun saat bertemu Regi pertama kali setelah kecelakaan, perempuan itu menangis tersedu-sedu seolah Shaza sedang kritis. Padahal ketika mendapat izin untuk berkuliah, Shaza sudah dalam kondisi prima.

Tiga temannya itu mengkhawatirkan Shaza dengan cara berbeda, Regi yang menunjukkan kesedihan, Sadam yang sudah sembuh kini tidak membiarkan Shaza membawa barang berat, sedangkan Ansel diam-diam mengurus sepeda yang dirusakkan Shaza serta menjadi saksi menjelaskan ke dosen sehingga banyak teman yang ikut mendoakan kondisinya agar pulih. Serta, salah satu hal yang penting, Ansel rupanya belum memberitahu Sadam dan Regi tentang Prad. Untuk itu semua, hati Shaza terasa penuh, banyak hal-hal baik yang terjadi di hidupnya belakangan ini.

Kecuali, Prad telah berangkat ke Jakarta tadi pagi. Untuk satu hal itu membuat hari Shaza terasa tidak sempurna. Kemarin dia berangkat kuliah di antar sang suami dan sekarang bersama Adhisti. Sungguh, Shaza bukan tidak bersyukur masih ada yang mengantar, tapi perbedaannya sangat terasa.

"Lo kenapa pagi-pagi manyun gitu? Kaki lo sakit lagi?" tanya Regi saat mereka berpapasan di depan fakultas.

Ansel dan Sadam masih berada di jalan saat dua perempuan itu memutuskan untuk langsung masuk kelas.

Segera Shaza menormalkan ekspresinya. "Nggak kok, cuma lagi bosen aja. Lama banget dosennya belum dateng-dateng," dalihnya.

"Lah emang kita berangkatnya kepagian, kelas mulainya baru jam sembilan. Sekarang jam berapa?" Regi menyalakan gawainya. "Anjir jam sembilan lewat lima menit?" Sontak ia mengetuk bahu perempuan di depan selaku penanggung jawab mata kuliah manajemen pengantar. "Eh dosennya mana belum kok dateng? Coba lo hubungin deh, siapa tau tiba-tiba kelasnya dicancel."

"Ibunya udah di jalan kok, tadi ngabarin agak telat soalnya ban mobilnya bocor, tapi udah dibenerin. Aku juga udah ngasih tau di grup kelas," jawabnya santun.

Regi meringis malu, disenggolnya lengan Shaza sambil terkekeh. "Tuh dengerin, Sha. Makanya sabaran dikit." Perempuan di hadapan Regi masih menatapnya, spontan ia menunjuk Shaza yang semakin bingung. "Dia tuh yang nanya. Gue cuma ngewakilin."

"Kok jadi gue? 'Kan—"

"Sel, Dam!" Ucapan Shaza diabaikan begitu saja, Regi malah melambaikan tangan ke arah dua laki-laki di ambang pintu. Shaza semakin cemberut.

Ansel dan Sadam lantas menghampiri kursi di sebelah Regi yang kosong. Mereka berbasa-basi sambil bercanda, sedangkan Shaza masih sebal dipojokkan.

"Kenapa tuh anak diem aja?" tanya Sadam pada Regi. "Lo nggak sakit, 'kan, Sha?" tanyanya lagi, langsung ditujukan pada perempuan itu.

"Lagi badmood disuruh nunggu dosen telat," jawab Regi tanpa rasa bersalah.

"Di grup kelas emang udah dikabarin kali, makanya gue sama Ansel berangkat agak telat."

The Day You Came [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang