bab dua puluh lima

4.2K 253 10
                                    

Seharusnya Shaza sudah bisa berkuliah hari ini, nyeri di tangan sepenuhnya hilang, hanya tersisa sedikit di pergelangan kaki, dia sudah bisa berjalan normal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seharusnya Shaza sudah bisa berkuliah hari ini, nyeri di tangan sepenuhnya hilang, hanya tersisa sedikit di pergelangan kaki, dia sudah bisa berjalan normal. Namun, Sekar meminta satu hari lagi agar menantunya itu istirahat di rumah agar benar-benar pulih. Tidak ingin membuat orang di sekitar semakin khawatir, ia pun pasrah saja dan meminta tolong Regi untuk mengurus perizinan.

"Baunya enak banget, Bu," puji Shaza berjalan sendirian di dapur, menemui mertuanya sedang memasak dibantu asisten rumah tangga mereka.

"Eh, udah bangun, Mbak." Sekar terperanjat menoleh sejenak ke arah Shaza yang masih mengenakan baju tidur, lalu kembali mengupas bawang. "Nggak usah ke sini, kamu duduk-duduk aja atau balik lagi ke kamar. Nanti kalau udah selesai, Ibu panggil."

Tentu Shaza tidak menurut, karena tujuannya kemari ingin membantu Sekar. Bosan tidak memiliki pekerjaan untuk dilakukan, kembali ke kamar juga percuma karena Prad sedang mandi. Tidak ada teman untuk mengobrol.

"Shaza mau bantuin Ibu boleh nggak? Shaza pengen belajar masak, hehe," akunya jujur tanpa berusaha menutupi fakta dirinya tidak bisa memasak. "Kaki Shaza udah bisa buat jalan kok, Bu. Justru butuh dilatih terus, biar makin lancar jalannya. Tadi aja Shaza bisa turun tangga sendiri, pelan-pelan sambil pegangan."

"Loh kenapa turun tangga sendiri? Mas Prad ke mana, Mbak?" tanya Sekar khawatir bukan malah yakin.

"Semalem Shaza tidur di kamar Mas Prad, Bu. Sekarang Mas masih mandi kayaknya, Shaza bosen nungguin, jadinya turun ke sini."

Sekar tidak bertanya lagi, dia memahami penjelasan Shaza. Termasuk kebosanan yang dirasakan, mungkin ada benarnya perempuan itu butuh kegiatan ringan.

"Sini bantu Ibu ngupasin bawang," ajaknya memberikan ruang untuk Shaza mendekat. "Ibu mau masak cumi saus mentega, udang cabe lada garam, terus ada ayam di kulkas udah Ibu marinasi semalam, sama cah kangkung. Cocok sama menunya nggak, Mbak?"

Mendengar kata cabai tentu kepala Shaza otomatis mengangguk semangat. "Cocok-cocok! Bayangin doang udah laper, Bu!" sahut antusias. Ia mulai mengupas perbawangan sambil matanya melirik ke bahan-bahan. "Ibu punya stok tempe nggak?"

"Tempe?" ulang Sekar matanya menatap ke atas sedang mengingat-ingat. "Oh, ada di kulkas kayaknya, Mbak. Kamu mau digorengin tempe?" Seringai muncul di wajar Sekar ketika teringat putranya juga menyukai makanan itu. "Wah, ketularan Mas ini kayaknya."

"Nggak, Bu. Emang buat Mas Prad." Tersipu-sipu Shaza menjawabnya. "Biar Shaza yang goreng tempenya sendiri ya. Boleh, 'kan, Bu?"

Sekar mengizinkan dengan senang hati, ibu mana yang tidak bahagia putranya diperhatikan oleh pasangannya.

"Mbok, tumbaske tempe sing bungkus godong kesukaane Mas Prad." Sekar memberikan uang dari sakunya. Dia kembali berbicara pada Shaza menjelaskan. "Tempe di kulkas udah dibeli dua hari lalu, belum sempat digoreng. Dan Mas Prad nggak bakal mau soalnya pakai plastik, Mbak. Tadi Ibu minta tolong si Mbok beli tempe daun kesukaannya Mas. Dia itu ya, beli tempe satu lonjor buat satu hari. Nggak mau beli sekarang dibuat besok. Harus fresh terus katanya." (Mbok, belikan tempe yang bungkus daun kesukaannya Mas Prad)

The Day You Came [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang