bab sembilan

3.9K 280 51
                                    

Sebuah takdir mempertemukan empat pemuda dengan berbagi nasib yang sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sebuah takdir mempertemukan empat pemuda dengan berbagi nasib yang sama. Karena mereka memiliki penderitaan yang kurang lebih sama, tidak susah untuk mereka bisa menjadi lebih dekat satu sama lain. Menemukan teman satu frekuensi di hari pertama ia menginjakkan kaki di kampus, tidak pernah ada di bayangan Shaza. Apalagi tidak hanya satu, tetapi tiga sekaligus.

Mereka juga tidak menyadari, kenapa pertemuan pertama ini terasa seperti mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Semua berjalan secara natural begitu saja. Tanpa terasa mereka menghabiskan waktu bersama hingga sore menjelang petang. Shaza pun terbawa suasana karena dia tidak pernah merasakan masa-masa kebersamaan bersama teman-temannya sebelum ini.

Agenda Shaza bermain ke kos Regi batal, karena setelah mereka bersepeda, Sadam mengajak untuk mencari makan akibat lelah mengayuh sepeda cukup lama. Shaza kira setelah makan, dia akan berpamitan pulang. Namun, dia merasa tidak rela untuk pergi lebih dulu meninggalkan obrolan mereka yang semakin menarik. Jadilah dia tetap tinggal di kafe bersama ketiga teman barunya.

"Ansel otaknya encer banget, jangan bandingin sama gue. Dia masuk hukum UI lewat jalur undangan, orang-orang pada biasa aja. Lah gue ngepost screenshot pengumuman keterima di sini, malah dikira editan anjir," curhat Sadam. Mereka sedang membicarakan tentang masa-masa sekolah dua lelaki itu yang sangat bertolak belakang.

"Emang keliatan sih dari mukanya," gurau Shaza. Dia sudah tidak sekaku awal tadi, mulai berani melontarkan candaan. "Muka-muka penipu."

"Ah, sakit banget lho, Sha. Gue pikir lo beda dari yang lain, ternyata semua cewek sama aja." Sadam memegang dadanya pura-pura kesakitan.

Regi melemparkan kentang goreng ke arah Sadam. "Halah, diem lo buaya."

"Mantan buaya. Gue kan udah tobat semenjak kena adzab ditolak masuk kampus ini. Beneran gue nggak deketin cewek lagi, iya kan, Cantik?" Sadam mendekatkan wajahnya ke Shaza dalam jarak aman. Spontan Shaza memundurkan dirinya dan mengikuti jejak Regi melempari Sadam dengan kentang. "Aduh, jangan di lempar ke gue doang dong. Kalo gue buaya, Ansel noh kayak anjing."

Tidak terima namanya dibawa, Ansel membela diri, "iya, gue kayak anjing, kan gue setia."

"Setia sama kejombloan lo mah," timpal Sadam tak mau kalah.

"Oh, Ansel jomblo toh." Regi menatap Shaza sambil tersenyum penuh arti. Walaupun Shaza sebenernya tidak menangkap maksud dari Regi.

"Gue juga jomblo, kalo lo penasaran, Re, Sha."

"Nggak nanya." Regi menjulurkan lidah pada Sadam. Kini fokusnya berganti pada laki-laki yang sedang menyeruput minumannya. "Tipe lo kayak gimana, Sel?"

Ditanya seperti itu membuat Ansel tersedak. Dia memukul dadanya beberapa kali sebelum menjawab, "kenapa lo nanya gitu? Emangnya penting?" Tanya Ansel balik bersikap defensif.

"Dia pengen tau soalnya mau jod—aw, kenapa cubit-cubit sih, Re?!" Protes Sadam pada Regi.

"Gantian dulu kek ngomongnya. Gue kan lagi nanya sama Ansel." Sadam pun diam dimarahi Regi seperti itu. Regi tidak menyerah, dia kembali melanjutkan aksinya. "Tinggal sebutin aja, Sel. Barangkali ada temen gue yang sesuai spek idaman lo, ntar gue kenalin."

The Day You Came [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang