47.♡

132 37 36
                                    

Hari berganti. Seusai kuliah dan sempat pelang ke rumah, Ilham kini telah berada di rumah sakit, menyaksikan sang kakak yang diam termangu ketika bu Dyah menunjukan dua cincin emas kuning di sebuah kotak padanya, dihadapan bu Lina.

Bu Dyah berkata, "Ibu sengaja bawa dua buat pilihan ukuran jari kamu. Biar kamu tetap bisa jaga ibu kamu disini, gak perlu ikut pergi ke toko perhiasan,"

Anita hanya dapat menatap kotak itu. Pikiran sibuk memberontak, tanpa dapat merealisasikan aksi atas kebimbangan memikirkan sang ibu.

Di kasur, bu Lina menggapai tangan Anita. Memberi isyarat menyuruhnya untuk merespon.
Binar mata bu Lina, jelas nampak penuh semangat. Dan itu menyakitkan batin sang anak.

"Ayo, coba!" ujar bu Dyah.

Gadis itu memaksakan diri mengambil salahsatu cincin.

Bibir bu Dyah tersenyum manis.
"Gak perlu malu,"
Lalu membantu memasangnya di jari manis Anita.

Dada Anita sudah bergemuruh kacau. Ingin marah. Mengamuk.

Sedangkan bu Lina gembira memandanginya.
"Sepertinya pas ya?!"

"Wah.. Iya!" balas bu Dyah bersemangat memperhatikan cincin dan jari manis Anita.
"Aduh.. Bagus sekali kelihatannya. Cocok kan buat Anita?!"

Dengan semangat, bu Lina menyahut, "Cocok!"

Di  dekat pintu, Ilham merenung. Tidak tau harus bersikap bagaimana. Yang pasti, dia tau. Kakaknya sedang tidak baik-baik saja.
Dia ikut bingung.

"Mmh, Anita mau ke toilet di luar dulu, ya," kata Anita sambil melepaskan cincin dan menaruh lagi di kotak.

Kedua ibu-ibu mengangguk, dan lanjut asik berbincang mengagumi keindahan cincin.

Ilham ikut keluar. Dia panggil sang kakak.
"Teh,"

Langkah Anita berhenti, menoleh ke belakang.

Setelah berdekatan, Ilham menyampaikan, "Tadi di rumah ada telpon dari suster Marie,"

Seketika mata Anita melebar antusias.
"Terus gimana?"

"Cuma nanya keadaan kita, sama nanyain teteh dimana. Udah,"

Seolah lenyap begitu saja kesedihan Anita. Gejolak semangat kembali muncul.
"Teteh pulang dulu ya! Jagain mamah!"

"Iya.."

Kakinya berlari bersama perasaan yang menggebu-gebu. Ingin segera mendengar suara Marie, melepas rindu, berbincang dengan sang kekasih.

Sumedang.
Rumah sepi. Marie sendirian. Ibunya sedang di tempat penggilingan padi bersama ayah. Sambil menikmati secangkir teh hijau, dia membaca sebuah koran di halaman belakang.

Kringg..

Mendengar bunyi dering telpon, dia segera beranjak pergi.

"Halo?"

"Marie,"

Pupil onik netra nya membesar gembira. Itu adalah suara kekasihnya.
"Anita! Senang mendengar suaramu lagi," ungkapnya antusias.

"Saya juga. Hah.. Rasanya ingin sekali pergi ke Sumedang. Menghabiskan waktu bersama-sama."

"Iya.. Tapi mamah mu sedang sakit,"

"Yah, bagaimana lagi. Hm, apa kamu tidak sedang sibuk?"

"Tidak. Kamu bagaimana disana? Bagaimana bu Lina hari ini?"

Seketika Anita terdiam beberapa saat.
"Sudah membaik. Kalau tidak pulang malam ini, mungkin besok pagi." jawabnya sembari menahan kecamuk emosi.

"Syukurlah. Saya turut senang. O ya, dua hari lagi saya akan berangkat ke Ban-"
Marie langsung berhenti ketika samar-samar menangkap suara isak tangis yang berusaha ditahan dari seberang telpon.
"Anita..?"

[NEW] Rahasia MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang