50. ❤️

93 33 37
                                    

❤️

Kini langit mulai gelap, Ilham memasuki rumah, berniat akan beribadah sholat maghrib di kamar. Dia belum terbilang sholeh soal ibadah, tetapi, dia ingin mencoba lebih rajin, agar dapat berdoa dengan baik juga pada Tuhan nya. Mengharapkan kesembuhan sang ibu, kebaikan keluarga, dan dirinya pribadi.

"Ilham,"

Sebelum memasuki kamar, dia melirik pada sang ibu yang baru saja dia tau keberadaannya.

Bu Lina bertanya, "Mana teteh?"

"Mm, barusan teteh bilang mau pergi dulu, ada urusan sama a Ruslan."

"Ohh.. Kalo laci meja toko kamu kunci dulu kan?!"

"Pasti, mah."

Setelah ibunya pergi, pikiran Ilham dilanda kecemasan.
Barusan? Padahal si kakak sudah pergi hampir satu jam yang lalu.
Tadi, Anita sudah berpesan padanya untuk tidak memberi tau bu Lina jika dia akan pergi. Ilham juga tidak diberi tau dia akan ke mana.
'Mana sih teteh? Katanya sebentar! Awas kalo habis maghrib belum juga pulang!'

Kembali lagi ke toko seusai beribadah, sekarang Ilham melihat sang kakak sudah berada di depan toko. Kemudian menghampirinya dengan senyuman kecil.
Akhirnya, dia dapat bernafas lega.

"Mamah gak nanya macem-macem, kan?!" tanya Anita.

"Enggak. Weyah kieu kukuluyuan, aya-aya wae ieu calon panganten teh!" (Jam segini keluyuran, ada-ada saja nih calon pengantin!)
jawab Ilham diakhiri gelengan kepala.
"Ckckck,"

Mendapati tatapan sinis tak suka dari Anita, remaja itu baru ingat, bahwa sang kakak tidak suka disebut 'calon pengantin'.
Karena, tadi siang Danu sempat iseng menggoda Anita dengan sebutan tersebut, Anita terang-terangan menunjukan ekspresi tidak suka nya.

Spontan Ilham menutup mulutnya. Oops.

"Jaga toko! Teteh mau kasih mamah makan malam dulu," ujar Anita kembali seperti biasa.
Di tangan kiri nya ada sebungkus makanan di kantong keresek putih.

"Sip! Tapi buat aku mana?"

Anita membuang nafas berat.

"Kan aku udah bantu teteh," lanjut Ilham merasa telah berjasa.

"Iya.. Iya.. Nanti dibeliin habis urus mamah,"

"Gitu dong!" sahut Ilham senang.
Dalam benak, sudah berencana ingin dibelikan apa.

Melihat pulpen berantakan di meja kasir, dia berniat merapihkan.
Tapi detik selanjutnya, dia tercengang ketika menemukan cincin yang dia kenal terselip di kotak tempat pulpen itu.
"Ya ampun...! Si teteh..! Cincin tunangan semahal ini kok disimpen sembarangan?!
Males pake, sih, gak apa-apa. Tapi masa atuh disimpen di tempat pulpen?
Ckckck,"










Pagi yang cerah. Marie asik memandang langit dari jendela yang terbuka, bersama angin sepoi-sepoi menyejukkan. Sementara ayahnya menontoh tv.

Cklek. Pintu ruangannya dibuka dari luar oleh ibunya yang pulang sehabis dari kantin. Tapi, ibunya kembali bersama seorang pria muda yang nampak cukup matang. Marie sudah tau namanya, Irwan. Sosok pria duda yang ingin didekatkan dengannya.

"Apa kabar, Marie?" tanya Irwan bersama kehangatan, ketulusan, membagi energi positif bagi orang-orang di sekitarnya.

Dalam benak Marie menduga jika Irwan merupakan ekstrovert.
"Puji Tuhan, baik. Bagaimana kabarmu?"

Ayah dan ibu Marie saling melempar pandang, senang atas itu.

"Baik. Senang kita bertemu lagi."

Kepala Marie mengangguk saja.

Ibunya mendekat, "Irwan, mari duduk!"

"Terima kasih, bu,"

"Terima kasih, sudah datang menjenguk," ucap Marie.

Irwan tersenyum.
Baru saja dia hendak bersuara, Hp antene nya berdering. Dia bicara pada semua, "Maaf, saya mau angkat telepon dulu. Ini anak saya,"

"Oh, tidak apa-apa," jawab ayah Marie.

Di dekat jendela, Irwan berbincang dengan anaknya. Memperhatikan itu, bagaimana bahasa tubuh dan lisannya berbicara pada anak, Marie sangat mengapresiasi. Mengingatkannya pada mendiang suami. Dia berpikir, dirinya tak perlu begitu acuh pada Irwan, karena pria itu sosok ayah yang baik, patut dia hargai.
Ya. Sebatas menghargai.

Hari ini bu Lina telah dapat kembali beraktivitas seperti biasa, mengurus rumah, dan mengurus toko sembako, dibantu Anita. Tetapi, sekarang bu Lina sedang kedatangan tamu. Siapa lagi kalau bukan bu Dyah. Kedua ibu-ibu itu mengobrol di ruang tamu. Sementara Anita tidak peduli. Dia berpura-pura sangat sibuk di toko.
Ada sebuah pikiran yang muncul dalam benak gadis itu. Sembari menata bungkusan tepung terigu, dia terus memikirkannya.

"Teh," panggil bu Lina bersama sang teman di samping.

Anita menengok ke depan.

"Anterin bu Dyah dulu, ya?!"

Dibalik ketenangannya, Anita cukup terkejut mendengar perintah sang ibu.
'Hah?
Aduh.. Ngapain, sih?'

Bu Dyah bersuara, "Eh, gak perlu atuh..! Saya bisa naik angkot,"

"Gak apa-apa, mumpung Anita lagi gak sibuk," kata bu Lina berniat ingin mengakrabkan sang anak dengan calon mertua nya

Teringat lagi pikiran yang sebelumnya muncul, Anita berpikir mungkin ini kesempatannya.

Bu Lina beralih pada si sulung.
"Iya kan, teh?!"

Kepala Anita mengangguk. Dia bangkit.
"Anita ambil dulu kunci mobilnya,"

Senyuman pun tersungging di bibir sang ibu.

Hening. Ruang mobil hanya didominasi suara deru mesin dan berbagai bunyi dari luar.
Di kursi belakang bu Dyah memperhatikan Anita yang nampak sangat fokus menyetir.

"Kamu pendiam yah anaknya?" tanya nya memulai percakapan.

Anita menjawab, "Tidak juga, bu,"

"Bagus," sahut bu Dyah disertai senyum.
"Jadi nanti kalau sudah berumah tangga, di rumah kalian gak sepi, gak diem-dieman dua-duanya. Soalnya Sandi tuh agak lebih banyak diam.

Boro-boro mau membayangkan rumah tangga bersama Sandi, dipaksa tunangan saja Anita sangat sakit hati.

'Ayo! Ngomong sekarang! Pasti bisa!' batin Anita menyemangati diri sendiri.

"Bu Dyah," akhirnya dia mulai bicara.

"Iya, Anita,"

"Mohon maaf sebelumnya. Saya ingin mengatakan kejujuran ini pada ibu sekarang,"

Wajah bu Dyah menjadi serius.

Dengan tenang, Anita menyampaikan, "Saya ingin jujur, bahwa saya terpaksa mengikuti perjodohan ini."

"Ibu tau,"

"Maka dari itu, saya mengharapkan kebijaksanaan ibu dan keluarga, untuk melepas saya dari ikatan ini."

"Mamah mu, sekaligus teman baik ibu, sudah menyerahkanmu, mempercayakanmu pada kami, Anita,"

Tetap berusaha fokus menyetir, Anita menguatkan diri oleh mental yang mulai terguncang.
"Bu, ini sungguh berat bagi saya. Saya tidak bisa,"

Terbesit ada keinginan terus terang 'Saya mencintai sesama perempuan, bu,'
Namun, dia urungkan mengingat sang ibu. Sudah turut membuat pikiran ibunya sedih, setidaknya dia tidak ingin menambah malu ibunya.
Cukup seram dia membayangkan, bagaimana jika bu Dyah ternyata emosinya buruk. Yang mungkin akan menyebarkan fakta dirinya pada orang-orang hingga mereka jadi mengucilkan ibunya, dan adiknya.
Tidak. Anita tidak bisa.

"Saya sudah mencintai orang lain, bu Dyah," lanjut Anita tak gentar.

Sesaat, bu Dyah begitu lekat menatapnya.
Keheningan kembali menguasai.




Klik bintang sebelum lanjut 😘
❤️

[NEW] Rahasia MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang