43.♡

169 45 50
                                    

Marie bantu sang ibu membungkus bekal makan siang ayahnya.

Semua telah selesai, ibu Marie siap pergi.
"Mau ikut?"

"Tidak. Marie.. malu,"

"Malu apa?"

Hanya mata dan senyuman Marie yang berbicara.

Memahami itu, ibunya  terenyuh sedih. Dia menarik senyum, lalu merangkul sang anak. Dia tidak mau memaksakan.
"Kalau begitu mamah pergi dulu, ya,"

"Iya. Hati-hati di jalan!"

Sepeninggal ibunya dari rumah, Marie kembali masuk ke dalam. Saat melewati cermin hiasan di dinding, dia berhenti. Tergerak untuk menatap diri. Melihat sisi kanan wajahnya masih memakai perban yang rutin diganti. Nafasnya berhembus berat.

"Ya Tuhan, mengapa Engkau membuat saya seperti ini?" keluh nya spontan. Hatinya sangat perih, sakit, mengingat sekarang dirinya harus hidup dengan keadaan wajah yang tidak seperti dulu.

Ketika tersadar, segera Marie berucap, "Astaga..
Tuhan, Allah, yang maha kuasa, maafkan hamba.
Hamba tau Engkau menyayangi hamba."

Dia usap air mata yang berderai.

Mendengar telepon rumah berdering, dia melangkah lebar ke ruang tengah. Diangkatnya telepon.

"Halo?"
"Anita.." sambut nya ceria.

Di toko, wajah Anita begitu sumringah mendengar suara Marie.
"Apa saya tidak menggangu mu?"

"Tidak.."
"Hhiks,"

Anita mengerjap kaget oleh menangkap suara isak tangis kekasihnya di sana yang tiba-tiba.

Iya. Sekarang Marie sudah berlinang air mata tanpa dia duga. Secepat itu.

"Ada apa..?" tanya Anita.

"Mhh.. Kangen kamu."
Betul demikian. Tapi sebenarnya, ada banyak emosional yang berkecamuk dalam hatinya. Bahagia, juga sedih mengingat keadaan wajahnya.

Anita terharu. Hati berbunga-bunga.
"Saya juga kangen. Maaf ya, sebelumnya dua hari ini saya tidak menelepon kamu. Mamah harus kontrol lagi ke rumah sakit."

"Iya, Anita. Tidak apa-apa.
Bagaimana keadaan mamah mu?"

"Kemarin sempat drop, tapi sekarang sudah membaik dan bisa di rumah.
Kalau kamu dan keluarga bagaimana?"

Percakapan mereka terus mengalir apa adanya. Melepas rindu.

Berlanjut, hari demi hari mereka menjalankan aktivitas masing-masing. Dan Anita akan menelepon pada siang atau sore hari, meski kadang tidak setiap hari. Dua hari yang lalu, Sandi juga datang lagi menemuinya. Sama seperti pertemuan sebelumnya, tidak lama. Bedanya, Sandi membawakan martabak telur mahal untuk Anita.
Kalau martabak nya tentu saja Anita dengan senang hati menerima. Tapi tetap tidak ada ketertarikan berarti menjalin komunikasi dengan pemuda itu.

Sore hari ini. Selesai sholat, ketika hendak kembali ke toko, di ruang tamu dia berpapasan dengan bu Dyah yang datang lagi menjenguk ibunya, sendirian, diantar Ilham. Maka mereka saling menyapa. Anita berusaha bersikap sewajarnya, walau sebenarnya ada rasa tidak nyaman pada ibu Sandi itu perihal ide menjodohkan sang anak.

"O ya, Anita." ucap bu Dyah menahannya pergi.

"Iya, bu,"

"Lusa hari kamu ikut ibu pergi ke toko emas, ya!"

'Hah?'
Tentu raut wajah Anita kini memandang penuh tanda tanya. Begitu pula Ilham yang ikut penasaran.

Belum sempat gadis itu bersuara, bu Dyah sudah mendahului.
"Ibu temui mamah mu dulu," Lalu melenggang pergi.

[NEW] Rahasia MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang