30.♡

83 42 33
                                    

Hamparan sawah menguasai panorama di depan Marie dan Anita. Mereka berteduh dibawah pohon manggis. Disana, Marie berusaha menyiapkan diri untuk bicara dengan gadis itu.

Sementara Anita menahan rasa gemas memperhatikan Marie yang kembali bersikap canggung. Matanya tak jemu terus memandang. Dia berbicara, "Awalnya, saya belum ada niat kembali ke sini karena tidak mau menganggumu. Tapi hati saya membawa diri saya hari ini untuk kembali. Ternyata benar, saya harus kembali."

Marie terdiam. Ada rasa senang juga malu. Tapi pikirnya ya sudahlah. Mungkin hari ini memang waktunya mereka berdua kembali bicara.
Sesaat dia menghela nafas sebelum mengatakan, "Di berita, saya mendengar ada para pendemo di tembak. Sampai ada yang meninggal. Saya.. khawatir."

Melambung tinggi kembali angan Anita. Dia yakin hari ini ada harapan.
Tangannya bergerak membawa satu tangan Marie dalam genggaman.
"Saya baik-baik saja. Seratus persen. Lihatlah!"

Mata Marie mencuri-curi pandang. Malu.

Bersama rasa rindu, Anita dekap tubuh Marie.
"Terima kasih telah memikirkan saya. Kemana pun, saya akan tetap kembali pada suster Marie,"

Lemah hati Marie mendapat penuturan manis itu. Wajahnya terangkat untuk memandang. Melihat binar cinta kasih dari sepasang netra indah milik Anita.

"Suster Marie, saya sungguh mencintai mu."

Sontak mata Marie melebar. Dia palingkan wajah. Melepas dekapan.
Linangan air mata mulai terlihat jelas di matanya. Perlahan, genggaman tangan dia lepas.

Nanar mata Anita mendapatinya. Lagi lagi harus merasa sakit.

Tak terduga, ayah dan sepupu Marie, Marcel, muncul menuju rumah. Marie segera hapus air mata.

"Eh, Anita sudah kembali?" sapa ayah Marie begitu ramah.

Anita mengulas senyum. "Iya, pak. Ada yang harus saya sampaikan pada suster Marie. O iya, bagaimana kabar kamu Marcel?"

"Baik, Anita. Katanya kamu kemarin ikut demo. Astaga.. syukurlah kamu sepertinya baik-baik saja,"

"Betul. Sampai hari ini berita menyiarkan kekacauan demo di Jakarta. Kami senang kamu selamat," timpal ayah Marie.

"Terima kasih. Alhamdulillah saya dan teman-teman, semuanya aman. Kemarin saya ikut demo di Bandung, tidak jadi ke Jakarta. Karena kami khawatir kalau mungkin akan ada kerusuhan di Bandung. Tapi sungguh tidak diduga jika di Jakarta akan terjadi kekacauan mengerikan seperti itu. Saya juga mendengar cerita dari teman di Jakarta, peristiwanya disana sangat kacau, sangat mengerikan."

Berkumpul di ruang makan. Mereka, dan ibu Marie, menikmati makan siang sembari membahas demo kemarin yang sudah menjadi topik panas dimana-mana. Anita pun menyampaikan dia sudah mendengar isu jika akan ada kekacauan selanjutnya yang melibatkan masyarakat keturunan Tionghoa. Itu juga jadi salahsatu alasan dia kembali ke Sumedang hari ini. Mengkhawatirkan Marie dan keluarganya.

"Benarkah?" kaget ibu Marie.

"Semoga saja itu tidak benar-benar terjadi," lirih Marcel resah.

Melihat wajah sedih Marie, Anita turut bersedih. Di balik bawah meja, dia genggam tangan Marie.
'Saya ada disini, dan saya akan selalu bersamamu, suster Marie,'

Raut wajah ibu Marie nampak cemas, memandang keluarganya satu persatu. Dia juga khawatir dengan keluarga anak sulung nya di Garut.
Sang suami merangkul pundaknya.
Dia berkata, "Tuhan bersama kita,"

"Amin.." ucap semuanya.

Makan siang sambil berbincang sudah selesai. Marcel dan ayah Marie telah kembali ke penggilingan padi. Usai membantu beres-beres, Anita masih asik mengobrol dengan ibu Marie, sementara Marie pergi ke kamar. Merenung sendirian di dekat jendela.

[NEW] Rahasia MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang