♡
Cahaya mentari semakin terang benderang, menunjukan pagi telah berakhir, dan siang telah tiba.
Hanya Anita dan bu Lina di ruangan kamar inap. Sama-sama diam, mendengarkan suara penyiar radio. Sementara sebetulnya, pikiran Anita sudah sibuk, ingin berusaha bicara pada sang ibu.'Ok,' gumam batinnya yang telah siap.
Anita hembuskan nafas perlahan. Sebelum akhirnya bersuara.
"Mah,""Iya," sahut bu Lina tetap fokus pada radio.
"Anita mau bicara, soal hubungan dengan Marie,"
Wajah bu Lina bergerak menoleh.
"Kemarin kamu pergi ke rumahnya Marie kan?!" Nada bicaranya terdengar begitu dingin."Iya. Maaf Anita gak bilang,"
Bu Lina memalingkan wajah.
Satu tangannya berhasil diraih si sulung.
"Mah.."
Tak ada balasan bu Lina.
Penuh kesungguhan, Anita mengungkapkan, "Anita bersungguh-sungguh mencintai Marie,"
Raut wajah bu Lina langsung tampak sangat tidak nyaman.
Kedua lutut bersimpuh di lantai.
"Anita meminta restu mamah. Anita ingin bersama-""Anita!" sela bu Lina dengan tekanan.
Sontak gadis itu diam.
"Apa kamu mau membuat mamah meninggal?"
Terhenyak. Mata Anita membola.
"Apa kamu gak peduli bagaimana jika adikmu gak punya ibu lagi?" tanya bu Lina begitu tajam.
Kepala Anita menggeleng kuat.
"Mah, tolong jangan berpikir begitu..! Anita gak bermaksu-,""Ya Alloh.. Ambil saja nyawa saya sekarang, ya Alloh..! Saya malu.. Saya gak kuat," lirih bu Lina berderai air mata.
Menambah syok batin Anita.
"Mamah bicara apa sih?
Anita gak pernah meminta apapun yang besar pada mamah. Anita hanya meminta Anita dapat memilih jalan hidup sendiri dan kebahagiaan Anita, mah,"Bu Lina hempaskan tangan Anita untuk lepas.
"Kenapa kamu belum sadar? Mamah sudah sekarat begini kamu tidak peduli, Anita!""Enggak mah, enggak.." Air matanya deras berderai.
"Kamu setega itu lebih memilih Marie daripada ibu kamu sendiri?!!"
Semakin sesak dada Anita. Sangat perih. Tak mampu bicara oleh semua kata yang menumpuk dan tersendat di tenggorokan.
"Biar sudah mamah mati sekarang!" ucap bu Lina emosi sambil menggapai pisau buah.
"Mah!"
Langsung bangkit dari kursinya, Anita rebut pisau itu.Di depan pintu yang telah terbuka, paman dan bibinya memandang syok mereka berdua.
"Astaghfirulloh.. Euceu.." syok pamannya berlari menghampiri.
Dia tenangkan bu Lina.
"Kunaon..?" (Kenapa?)
tanya sang bibi hampir berbisik pada Anita.Yang ditanya hanya diam, menatap sedih ibunya yang menangis terisak-isak.
Sore hari.
Suasana antara Anita dan bu Lina masih diselimuti emosional masing-masing. Dingin. Disini Anita yang lebih memendam ego. Karena siapa lagi yang bukan harus selalu mendampingi ibunya yang sakit, karena Ilham harus masuk kuliah.
Hari ini ada kakak perempuan bu Lina yang menjenguk bersama anak sulungnya. Kesempatan untuk Anita pergi jalan-jalan keluar sebentar, menikmati suasana berbeda, meskipun tetap berada di rumah sakit ini juga.
Di taman yang agak ramai ini, kepala Anita terasa berat. Penuh pikiran. Dia perlu membicarakannya dengan seseorang. Tapi siapa..
Muncullah satu nama, 'Diego'.
KAMU SEDANG MEMBACA
[NEW] Rahasia Mereka
RomanceKamu ingin mengetahui semuanya, & saya tau itu bisa terasa luar biasa, atau menakutkan akan hal-hal tidak pasti, atau yang tidak diketahui. Tapi ketahuilah, bahwa yang tidak diketahui tidak selalu harus merasa seperti ini. Mungkin kali ini; yang tid...