35.♡

142 36 34
                                    

Hari telah gelap total, bu Lina ikut Anita menjenguk Marie di rumah sakit. Disana juga ada dua orang pastor dan beberapa biarawati datang menjenguk, termasuk suster Friska, yang sekarang tengah merangkul Marie.

"Romo Leo," panggil ibu Marie.

Romo Leo beralih menghadapnya. "Iya, bu Samanta,"

"Dengan kondisi Marie sekarang, saya minta maaf Marie belum dapat kembali ke gereja."

Senyuman hangat di wajah romo Leo begitu teduh.
"Saya, dan kami semua memahami. Kami turut bersimpati. Kami akan selalu terbuka jika Marie ingin ke gereja."
Lalu memandang Marie.
"Jangan patah semangat, ya, nak! Setiap ujian merupakan bagian dari kasih Tuhan."

Termenung Marie mendengarkannya. Bibirnya mengulas senyum.
"Terima kasih banyak, romo dan semuanya,"

Bu Lina berbisik pada Anita, "Mamah ka toilet heula, nya,"
(Mamah ke toilet dulu, ya)

"Muhun,"
(Iya)

Waktu berlalu, malam beranjak semakin larut. Sebagai pasien, Marie memerlukan waktu beristirahat, tidur di awal jam. Orang dari gereja telah pulang sejak tadi, sekarang giliran Anita dan bu Lina yang pamit.

"Suster Marie, saya turut mendoakan. Semoga lekas sembuh, dan pelakunya dihukum berat," tutur bu Lina.

"Terima kasih, bu Lina,"
Marie yang sebelumnya biasa berinteraksi dengan bu Lina seperti pelanggan dan pemilik toko yang akrab, sekarang baginya berbeda. Mengingat fakta bahwa bu Lina adalah ibu dari kekasihnya, dia jadi malu-malu sendiri, dan agak canggung.

Hati pasangan rahasia itu sebenarnya tidak menginginkan berpisah.
Marie inginnya Anita disini selalu bersamanya. Dan Anita inginnya jika bisa dia tetap disini menjaga, menemani Marie.
Dibalik kain baju, dua tangan mereka saling menggenggam erat, sebelumnya akhirnya bu Lina selesai berpamitan pada kedua orangtua Marie, dan mengajak Marcel menginap di rumah, Anita harus beranjak pergi untuk pulang.

"Besok pagi saya akan kembali. Selamat malam," ucap Anita.

Marie mengangguk. "Selamat malam. Hati-hati di jalan!"

"Iya,"

Malam ini Marcel memutuskan menerima tawaran bu Lina dan Anita untuk menginap. Dikarenakan ruang inap Marie hanya memungkinkan dapat ditempati tiga orang. Satu kasur untuk pasien, dan satu kasur untuk keluarga pasien.

Di perjalanan pulang, sembari fokus menyetir, Anita terpikir oleh memperhatikan ibunya yang tidak banyak bicara, wajahnya terlihat lesu, tidak seperti biasanya.

"Mamah, kenapa? Kecapean?" tanya nya.

Bu Lina yang sedang memandang keluar jendela di samping, menoleh.
"Hm.. Iya,"

"Perlu obat gak mah? Biar sekalian sekarang beli sebelum ke rumah."

"Enggak. Mamah ada vitamin kok di rumah,"

Anita pun mengiyakan.

Sampai di kediaman, mereka mendapati Ilham telah selesai menutup toko. Remaja itu menghampiri, mencium tangan mereka satu persatu. Marcel pun berkenalan dengan si bungsu.

Anita siapkan kamar untuk Marcel. Kamar yang dulu pernah ditempati kakeknya. Sementara bu Lina terduduk lemas di kasur, memanggil Ilham untuk datang.

Ilham muncul, dia diminta memijat kepala sang ibu dengan minyak pijat beraroma lumayan menyengat dan panas.
"Mau pake koyo, mah?" tawar Ilham sambil memijat.

Bu lina gelengkan kepala.

Kekhawatiran dan kesedihan melanda hati Ilham. Baru kali ini dia mendapati ibunya nampak kesakitan seperti ini. Biasanya bu Lina selalu nampak tangguh dari berbagai masalah kesehatan. Bahkan yang dia tau, sang ibu sudah lama sering ikut olahraga senam bersama ibu-ibu lain.

[NEW] Rahasia MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang