29.♡

139 44 41
                                    

Senja telah menyapa. Sepulang dari tempat penggilingan padi, Anita hampiri Marie yang tengah menutup jendela rumah depan.

Dia bertanya, "Apa kita bisa bicara?"

Tidak bergeming. Marie hanya memandang tanpa ada kata terlontar. Terlalu sibuk menahan semua pergolakan batinnya.

Serasa sakit dibuat menunggu. Perih mata Anita. Dia anggukan kepala, lalu mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, saya akan pulang sekarang."
Kepala kembali terangkat, kedua mata menatap Marie.
"Maafkan saya yang telah mengganggumu,"

Kakinya melangkah pergi ke dalam rumah untuk mengambil tas.

Di tempatnya berdiri, Marie terhenyak mendengar kata pulang, merasa sakit oleh semuanya.

Ayah Marie yang telah selesai mandi dan berganti pakaian, keluar dari kamar. Ketika berjalan di ruang tengah, dia melihat Anita menuruni anak tangga dengan menggendong tas di punggung.
"Anita mau kemana?" tanya nya sembari berjalan menghampiri.

"Mh, saya akan pulang lagi ke Bandung, pak."

"Loh..? Kami kira mau menginap? Kenapa tidak bermalam dulu disini?"

Ibu Marie muncul dengan wajah bertanya-tanya, "Anita sudah mau pulang?"

"Iya, bu."

"Menginap dulu saja..! Sebentar lagi malam,"

"Betul, nak," timpal ayah Marie.
"Kenapa tidak menginap dulu? Apa ada sesuatu masalah?"

Marie yang sudah memasuki rumah, langsung tersinggung mendengar pertanyaan ayahnya, begitu pula dengan Anita. Tapi mereka juga paham, jika sebenarnya yang dimaksud si ayah bukan tentang mereka berdua. Mungkin tentang urusan lain di Bandung.

Marie ditanya sang ayah.
"Kenapa teman mu sudah terburu-buru pulang nya?"

Marie tidak tau harus menjawab apa. Ayahnya berpikir dia tau. Tapi jelas dia tidak dapat mengatakan masalah yang sebenarnya.

Segera Anita bersuara, "Besok saya akan ikut demo, pak. Sebenarnya, saya juga tidak berniat sampai menginap. Nanti merepotkan."

"Oh.. besok mau ikut demo." sahut ayah Marie.
"Tidak merepotkan, Anita.. Kami senang kedatangan tamu. Sebelum kamu pulang, bagaimana kalau makan malam dulu bersama kami? Nanti saya antar sampai stasiun kereta,"

"Terima kasih banyak, pak. Tap-"

"Sudah.. Tidak perlu khawatir. Saya tidak merasa direpotkan. Justru saya akan khawatir membiarkan kamu pergi sendiri. Jam segini angkot di daerah kami sudah jarang."

Tidak enak menolak, Anita pun menerima tawaran. Ikut keluarga itu pergi ke ruang makan.
Diam-diam tak bisa menahan diri untuk tidak mencuri-curi pandang pada Marie yang sekarang bolak-balik menyiapkan hidangan di meja.

Usai makan malam, Marie dan ibunya ikut keluar rumah, mengantar Anita sampai halaman. Ada rasa berat dalam hati Marie. Namun dirinya sendiri  masih tidak tau harus berbuat apa. Untuk beradu tatap dengan Anita saja dia masih kesusahan, apalagi bicara seperti yang diharapkan gadis itu.

"Saya pamit pulang, suster," ucap Anita setelah berpamitan pada ibu Marie.

Untuk mengurangi kontak mata, Marie menganggukkan kepala.
"Hati-hati di jalan,"

"Pasti,"
Rasanya ingin sekali Anita dapat menggenggam tangan Marie, memeluknya sampai puas, sebelum harus masuk ke mobil. Sayang, sekarang dia harus menahan diri. Dia memasuki mobil, duduk di samping kemudi, ayahnya Marie, yang telah siap melajukan mobil.

Berat rasanya hati Anita. Tapi bagaimana lagi, dia tidak ingin memaksa Marie. Hari ini tidak ada harapan. Nafasnya berhembus berat.

Mobil melaju pergi meninggalkan kediaman. Dan Marie menguatkan diri, menahan air mata bersama sakitnya dada.

[NEW] Rahasia MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang