54.❤️

125 34 33
                                    

❤️❤️

Sangat penasaran, Sopyan memutuskan putar balik. Mengikuti arah jalur Anita pergi.

Tidak susah diikuti. Dari kejauhan, dia dapati Anita pergi ke taman balai kota yang sudah amat sepi.
Keheranan dan rasa penasaran pun bertambah.
"Rek naon si Anita ka dieu peuting-peuting?"
(Mau apa si Anita ke sini malem malem?)

Diikutinya lah ke taman dengan diam-diam.

Di bangku kayu yang diterangi temaram cahaya lampu taman, Anita duduk sendirian. Punggungnya gemetar. Kedua tangan menutup wajah yang turun menunduk.

Tak berselang lama, mulai terdengar sayup-sayup suara isak tangis di pendengaran Sopyan. Pemuda itu terkejut, diiringi rasa iba muncul. Dia melangkah, menghampiri sang teman.

Menyadari ada seseorang muncul di dekatnya, Anita menengok. Melihat Sopyan mengulas senyum kecil padanya. Lalu bergabung duduk.
Jelas dia tidak menduga.
Anita segera hapus air mata.
"Kok..-"

"Hhehe. Tadi kan kita papasan di jalan, nit. Aku ikutin lah." jawab Sopyan santai.

Anita pun baru ingat.

"Maaf ya, aku gak niat ganggu. Cuma kepikir aja aku harus hampirin kamu. Khawatir atuh kamu sendirian pergi ke tempat sepi gini. Eh, ternyata bener,"

Mendengar itu, teduh sekali di hati Anita. Beserta muncul rasa haru. Kepalanya mengangguk.
Sopyan itu memang teman laki-lakinya yang paling sensitif. Paling peka.

"Gak apa-apa aku ikut disini?"

"Gak apa-apa, Sopyan,"

"Kalau mau, gak usah ragu berbagi cerita kamu, nit.." ujar Sopyan penuh simpati.

Dalam beberapa saat, suasana begitu sunyi.
Sedang Anita, berusaha menata kondisi emosionalnya untuk dapat bicara.

"Kalau ngerangkul, kita bakal dikira kayak yang lagi mau maksiat gak ya?" bingung Sopyan mengingat kondisi taman sepi dan agak gelap.

Sontak Anita sedikit terhibur. Tak lama dia bicara.
Dia ubah posisi duduknya. Pandangan menatap langit dibalik ranting dan dedaunan pohon. Untuk beberapa saat, Anita hanya diam. Sibuk menata pikiran.

"Aneh gak kalau ada cewek yang dijodohin sama cowok mapan, baik, dari keluarga terpandang dan kaya, tapi si cewek gak mau?" tanya gadis itu kemudian.

"Sebagai cowok dan pribadi, menurut aku mah gak aneh. Aku menghargai perbedaan prinsip orang.
Kamu teh udah dijodohin?"
Selanjutnya Sopyan mendapati ekspresi wajah Anita sebagai jawaban.
Ada luka yang tersirat.

Tak tahan, Anita keluarkan kesedihannya.
"Mereka paksa aku nikah. Bulan depan.."

"Haah?"
Sopyan kaget bukan main.

"Nit, mau aku bantu bicara sama orangtua kamu?"

Sembari menahan isak tangis yang ingin keluar, Anita menggelengkan kepala.
"Gak apa-apa, gak usah. Sebelumnya aku udah berusaha juga menolak semuanya."

Ikut sedih hati Sopyan. Dia rangkul pundak sang teman.
"Sebelumnya, kamu udah coba bawa doi ketemu keluarga gak? Kayaknya selama ini kamu teh diem-diem bae punya pacar,"
Ya. Sudah lumayan lama Sopyan curiga pada Anita. Tapi dia menunggu Anita sendiri yang akan membicarakan itu.

"Ada. Tapi sebelum bisa dibawa ke rumah, mamah udah nolak habis-habisan, Sopyan.." keluh Anita begitu sedih.

"Loh? Kunaon?" (Kenapa?)

Pandangan Anita sekarang menatap intens pada Sopyan. Cukup lama.
Setelah menghela nafas sejenak, dia menjawab,
"Karena dia perempuan,"

'HAH?'
Sopyan terdiam dengan mulut terbuka menganga.
Memandang Anita penuh keterkejutan dan kebingungan.
"Mm-maksudnya?"

"Maaf kalau buat kamu kecewa. Inilah fakta sisi lain diri aku, Sopyan. Yang selama ini aku sembunyikan rapat-rapat sendirian dalam kekhawatiran besar." Semua terlontar begitu mengalir. Hari ini Anita terlampau sangat lelah menahan rahasianya. Tentu, sekarang dia ada kecemasan tentang respon sang teman.

Sebelum ini, Sopyan termasuk orang yang skeptis terhadap keberadaan LGBT. Namun sekarang memikirkan bagaimana sosok bagian dari kelompok tersebut didepannya ini, pemikiran Sopyan tergugah.

Menemukan tetesan air mata Anita, lubuk hatinya semakin amat terenyuh.
Digenggamnya tangan Anita. Sopyan mengatakan, "Pasti berat banget kamu menjalani dan harus menghadapi ujiannya, nit." Nafas berhembus berat.

Terhenyak kaget dada Anita mendapat respon tersebut.

"Aku sadar aku memang gak bisa berbuat hal besar untuk bantu kamu hadapi ujian itu. Tapi, aku bisa jadi teman kamu berbagi cerita rahasia ini," lanjut Sopyan tulus.

Keharuan pun tak tahan lagi meledakkan emosional Anita. Dia menangis pilu.








Sesak.
Menghitung hari sejak terakhir kali bertemu, Marie membuang nafas beratnya. Ini hari ketiga Anita belum muncul kembali mengunjunginya. Dia duduk termenung di bibir jendela kamar rumah sakit. Sementara itu, ibunya membereskan barang bekal mereka ke dalam tas. Karena nanti sore mereka akan pulang ke Sumedang.

Jam demi jam berlalu. Waktunya pulang. Dengan berat, kaki Marie melangkah meninggalkan ruang kamar bersama kedua orangtuanya.

'Kemana Anita?'
Benak Marie terus berisik, bertanya-tanya.

Sekarang semua barang telah disimpan di bagasi. Mendapati sang anak masih berdiri belum memasuki mobil, ayah Marie menepuk pundaknya.
"Marie, ayo masuk!"

Kepala mengangguk. Marie memaksakan diri masuk. Memasrahkan kekasihnya yang tidak sempat datang.

Keringat panas-dingin membasahi sekujur badan Anita. Gadis itu melajukan motornya lebih cepat. Tak peduli angin kencang menembus pakaiannya hingga membuat dirinya terasa ngilu. Rasa pening semakin menyerang kepala.
Baru saja dia menurunkan kaki di depan gerbang masuk rumah sakit, agak jauh, dia langsung mendapati sebuah mobil sedan berwarna krem telah melaju pergi lewat gerbang keluar. Ternyata itu mobil ayah kekasihnya.
"Marie?" lirihnya kaget.
Spontan dia lari. "MARIE!"
Ingin mengejar, tetapi malah tak sengaja menabrak seorang pria tua.

"Maaf," ucapnya membantu pria itu kembali bangkit.
Melihatnya berpenampilan rapih dengan jas putih, sudah dapat ditebak jika dia merupakan salahsatu dokter.

Dokter itu memandang lekat Anita.

"Maaf, dokter," ucap Anita lagi, sebelum hendak beranjak pergi.

Baru satu langkah, dokter itu menahan pundaknya.
"Mau kemana?"

"Ada yang harus saya susul sekarang," jawabnya dengan dada naik-turun merasakan sesuatu yang tak nyaman mengganggu nafasnya. Tapi dia tak ingin peduli.

"Kamu pucat sekali, loh,"

"Saya gak apa-apa, d-"
Dnggggg
Tiba-tiba muncul dengungan di kepalanya. Anita merasa dirinya seolah berputar-putar. Tubuhnya sangat lemas kehilangan tenaga, dan pandangan mulai buram.

Bbruk

"Tolong! Pak, tolong panggil perawat!" ujar dokter itu pada orang-orang saat Anita jatuh pingsan di depannya.

Sedari tadi, sang anak di sampingnya nampak lemas dan murung. Ibu Marie bertanya, "Kamu kenapa? Apa ada yang sakit?"

"Gak ada mah. Agak lemas saja."

"Hm, baiklah,"
"Eh. O iya, tumben ya, beberapa hari ini Anita tidak ke rumah sakit,"

'Itu yang aku pikirkan,' sahut Marie dalam hati. Tapi kemudian lisannya membalas, "Mungkin sangat sibuk mengurus toko dan bu Lina, mah,"

"Ah, benar. Kasihan bu Lina.. dia masih muda. Semoga lekas sembuh."

"Amin.."



'Anita..' Resah hati Marie.



😬
Gimana kabar kalian? 🤗
Happy weekend, all ❤️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[NEW] Rahasia MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang