Chapter 10

8.3K 447 13
                                    

AKU mengangkat kepalaku dan menatap Aksa dengan sorot mata horor.

Dia tampak sudah baikan dengan senyumannya yang jahil itu.

"Nggak." jawabku mutlak.

"Yah, kenapa?"

"Nggak, ih, amit-amit deh."

Jawabanku sepertinya menyentil egonya. "Emang aku seburuk itu ya dimata kamu?"

Aku mengangguk mantap. "Red flag banget. Black flag malah. Kamu juga bukan tipe aku banget."

"Oh ya? Memang tipe kamu yang gimana?"

"Yang nggak banyak tingkah, ahli ibadah, bikin adem kalau diliat." jawabku sekenanya.

"Hmm."

Aku menarik tanganku dari atas dada Aksa, kali ini sekuat tenaga.

"Kalau aku bisa jadi cowok kayak gitu, kamu mau jadi pacar aku?"

Aku mengernyit. "Kalau ahli ibadah, nggak bakalan mau pacaran kali."

"Langsung nikah gitu ya, maunya?"

Aku menatap Aksa, kali ini serius. "Mas Aksa jangan aneh-aneh." kataku dengan nada rendah. "Aku berhenti kerja aja, kalau Mas Aksa begini."

"Eh, jangan dong. Iya iya, tadi cuma bercanda kok. Nggak asik ah."

Aku mengangkat sebelah alisku. "Nggak serius kan?"

Aksa menyeringai. "Maunya serius apa nggak?"

Aku mendengus. "Udah, sih, istirahat, orang lagi sakit juga, masih iseng."

Aksa mengambil handphonenya di saku, lalu tampak sibuk mengetik. Melihatnya, aku juga ikut mengambil handphone di tas slempangku, lalu mulai mencari-cari lowongan kerja lagi.

"Liat apa?"

"Lowongan kerja—heh!"

Aku terkejut saat tiba-tiba handphoneku dirampas oleh Aksa.

"Eh! Balikin nggak?" Aku berdecak kesal. "Mas Aksa!"

"Lowongan kerja tamatan SMA di Malang?" Aksa menaikan sebelah alisnya, tangannya sibuk scroll-scroll layar handphoneku. "Kamu mau kabur ke Malang?"

"Bukan kabur. Keluargaku sebagian emang di Malang."

"Kerjaan gini, gajinya kecil tau."

"Iya, tau, kok." Aku merampas kembali handphoneku dengan kasar. "Aku kan cuma tamatan SMA."

"Kamu lagi butuh uang?"

Aku menatap cowok itu, kali ini dengan raut wajah tak suka yang terpampang jelas. "Siapa yang nggak butuh sih? Oh—kalangan orang kaya macem kamu sih nggak bakal paham."

Aksa tiba-tiba bangkit duduk. "Aku ada offering nih, buat kamu."

Aku refleks berdiri untuk membetulkan posisi bantalnya.

"Emang udah nggak nyeri? Baring aja dulu."

Aksa menggeleng. "Udah enakan kok."

"Ini kenapa bisa kambuh GERDnya? Bukan gara-gara nasi goreng tadi pagi kan?" tanyaku, teringat nasi goreng pedas yang aku buat untuk sarapan.

"Bukan, tadi kayaknya gara-gara kopi di kantor terlalu strong."

Aku geleng-geleng. "Masih aja nekat minum kopi. Lain kali kalau tau punya GERD, dijaga apa yang masuk ke mulut."

Aksa menyentil dahiku. "Bawel."

"Aduh! Sakit! Keras banget lagi."

Cowok itu malah cengengesan. "Eh, aku ada offer buat kamu. Daripada kamu cari kerja nggak jelas gitu, mending kerja di tempat aku aja."

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang