Chapter 21

5.7K 321 0
                                    

AKU menatap tajam Aksa yang sedang memakan makanan yang disiapkan Bulik dengan lahap. Sekarang, kami duduk di meja kantin rumah sakit. Tadi, Bulik memaksa untuk gantian menjaga Javier di ruang ICU.

"Nggak makan?" tanyanya. "Ini apa ya nama tumisannya? Kok enak banget."

"Jelasin." tuntutku serius.

"Jelasin apa?"

"Maksud perkataan Bulik Sri tadi apa? Kok bisa kamu bilang kalau kamu calon suami aku?" tanyaku.

Aksa menyeruput gelas es jeruk disampingnya. "Segeeer."

"Mas Aksa!"

"Iya, bentar, masih kekenyangan."

Aku mengernyit, tapi memutuskan untuk menunggunya memulai duluan.

"Apa tadi pertanyaannya?" tanyanya setelah lama bengong.

"Kenapa kamu bilang kalau kamu itu calon suami aku ke Bulik?" Aku mengulang dengan sabar.

"Memangnya bukan?"

Aku tertegun mendengarnya. "Bukan! Sejak kapan coba??"

"Sejak semalem. Emang lupa?"

Kali ini, aku benar-benar bingung mau berkata apa. "Kapan..."

"Katanya kamu bakal lakuin apa aja yang aku mau."

Perkataan Aksa membuat perutku mulas. Ah... iya, aku memang terus-menerus berkata seperti itu tadi malam. Tapi masa sih..

"T-terus, maksudnya?"

"Ya daripada pacaran, apalagi fwb-an, aku mau kamu jadi istriku aja."

Jawaban Aksa membuat hatiku mencelos seketika. Orang ini mungkin memang sinting.

"Jangan bercanda sih Mas..." gumamku, mulai ketakutan.

"Nggak bercanda, Aria. Aku serius."

Aku berdiri. Tapi lalu duduk lagi. "Kenapa?"

"Ya kan, aku suka sama kamu, lupa emang?"

Aku melongo, benar-benar tak tau harus berkata apa.

"Awas lho lalat masuk."

"Mas Aksa, nikah tuh nggak main-main, nanti Tuhan marah!"

"Emang siapa yang main-main? Aku serius." kata Aksa sambil melipat kedua tangannya di meja.

"Emangnya, kamu mau liat muka aku tiap hari?" tanyaku, frustasi.

"Mau, orang kamu cantik."

Aku meringis, "Coba deh, pikir lagi, aku tuh jaaaauuuuuuuh levelnya dibawah cewek-cewek yang selalu ada di sekitar kamu. Mereka kaya, cantik, berpendidikan, gaul, modis... sedangkan aku?? Miskin, yatim piatu, cuma lulusan SMA, kuper... aduh!! Nggak banget deh pokoknya!" racauku.

Tapi Aksa malah menggeleng sambil tersenyum seolah semua ini lucu. "Jadi gitu, cara kamu nilai diri sendiri? Ckckck."

Tanganku mengepal, geram sekali rasanya.

"Tapi tenang, aku nggak nilai kamu gitu, kok." lanjut Aksa. "Kamu itu... gimana ya jelasinnya? Pokoknya, kalau martabak, yang spesial."

Aksa meneguk habis es jeruknya sebelum bangkit berdiri. "Ayo kita balik, nanti Bulik sama Om Yanto nunggu lama."

Mau tak mau aku ikut berdiri dan membereskan beberapa tupperware kosong kembali kedalam tote bag.

Yaa Tuhan, aku harap cowok ini cuma iseng saja!!

***

Setelah berbincang sebentar dengan Om Yanto dan Bulik Sri, Aksa akhirnya pamit ke bandara. Aku mengantarnya ke depan rumah sakit dan menemaninya menunggu taksi online datang.

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang