Chapter 48

22.4K 1.2K 28
                                    


Aku membiarkan TV kamar menyala agar suasana tak terasa sepi. Aksa pergi ke kantornya hari ini, Papa dan Mamanya juga pergi karena ada urusan, jadilah aku ditinggal sendiri di rumah.

Seharian aku hanya berbaring diatas ranjang, saat jam makan, Mbak Asih datang dan membawakan beranekaragam makanan. Aku sempat mengobrol sebentar dengan beliau mengenai kehamilan, rasanya aku ingin ditemani, padahal biasanya aku selalu suka sendiri. Saat beliau izin pergi untuk menyiapkan makan malam, aku merasa kecewa.

Aku menghela napas. Tubuhku terasa lemah sekali, perasaanku juga tak menentu. Rasanya semua serba salah.

Alisku mengernyit saat mengingat percakapanku dengan Aksa kemarin. Ada gilanya juga cowok itu bilang dengan terang-terangan kalau dia berciuman dengan perempuan lain. Dan lagi, memangnya dia pikir aku akan percaya mereka hanya melakukan itu?

Perhatianku tersita pada layar Tv yang menyajikan berita tentang sidang isbath yang akan dilaksanakan malam ini untuk menentukan tanggal 1 Ramadhan. Hatiku menghangat menyambut datangnya bulan suci. Tapi sepertinya, aku tak akan bisa ikut berpuasa tahun ini—tanpa berpuasa saja, aku sudah sulit makan dan lemah.

Aku menghela napas. Ini Ramadhan pertamaku sebagai seorang istri. Bayanganku, ketika sudah berkeluarga, bulan Ramadhan pastilah momen yang menyenangkan untuk dijalani bersama. Tapi sekarang situasinya malah kacau begini.

Ini semua gara-gara Aksa!!

Tok tok tok—

Aku terdiam mendengar suara ketukan yang tak asing itu. Mataku melirik kearah jam dinding, masih jam 5 sore, kok dia sudah pulang?

Aku tak berniat untuk beranjak dari ranjang dan membuka pintu, karena ku tahu dia pasti akan lancang untuk masuk.

"Aria, aku masuk ya?" Wajah Aksa muncul tak lama setelahnya.

Aku mendelik padanya dan kembali memusatkan perhatianku pada berita di TV. Aksa duduk ditepi ranjang, wangi sabun menguar saat dia mendekat. Tampaknya dia habis mandi.

"Tadi aku abis kena asap rokok, jadi pulang-pulang langsung mandi." jelasnya.

Siapa yang nanya? Batinku dalam hati.

"Kamu gimana, masih mual dan lemes ya?"

Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Rasanya aku ingin selamanya melanjutkan gerakan tutup mulut ini.

"Tapi tadi bisa makan?"

Aku mengangguk.

"Syukurlah."

Aksa ikut menonton berita di TV. Aku beringsut menjauh saat ia menggeser duduknya lebih dekat. Keningku mengernyit, bisa nggak sih jangan deket-deket??

"Besok udah mulai puasa ya?" komentarnya.

Aku bergumam pendek.

"Tapi kalau kamu, kata dokter jangan puasa dulu kan ya?"

"Hm."

"Aria... beneran selamanya nggak mau ngobrol sama aku?"

Aku memutar bola mata.

"Aria, please, aku kangen banget ngobrol sama kamu kayak biasa..."

Nada sedih dalam omongan Aksa membuatku sedikit iba. "Iya." kataku akhirnya.

"Kamu sampai kapan mau kita tinggal disini?"

"Selamanya." jawabku asal.

"Aria..." Aksa menghadapku. "Kalau aku berhasil puasa sebulan full, kita balik ke rumah ya?"

Aku mengernyit. "Emang nggak pernah puasa sebulan full?"

Aksa menggeleng.

"Parah."

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang