Chapter 25

25.4K 1.4K 22
                                    

Underage minggir dulu ya, sedikit 18+ heheh

***

SAAT rumahku tiba-tiba disita bank, aku hanya bisa berdiri diteras rumah sambil memerhatikan ibu tiriku yang menangis meraung-raung. Padahal dibanding beliau, aku punya kenangan dan ikatan lebih kuat dengan rumah itu. Tapi aku tau, tak ada gunanya kalau aku ikut menangis, toh rumah itu akan tetap diambil.

Saat aku terpaksa berhenti kuliah, aku melapor pada pihak kampus dan menolak semua tawaran keringanan biaya yang mereka ajukan. Padahal selama 7 semester, aku tak pernah mendapat nilai selain A untuk semua mata kuliah. Tapi aku tau, melanjutkan kuliah ditengan huru-hara yang terjadi adalah tindakan yang kurang bijaksana. Toh meskipun mendapat keringanan biaya, tetap saja ada biaya yang harus dibayar, sedangkan saat itu untuk makanpun kami bingung dari mana.

Semua hal buruk yang terjadi bisa kulalui dengan tegar. Kubangun tembok menjulang untuk melindungi bagian diriku yang paling rapuh. Kadang, saat aku sendirian, tembok itu runtuh, menyisakan perasaan sedih dan kecewa yang mendalam akan semua yang terjadi. Tapi saat menghadapi orang lain, tembok itu akan selalu kokoh berdiri melindungiku, hingga yang tampil hanyalah versi aku yang kuat dan siap menghadapi semua hal.

Seperti saat ini.

Aku berusaha menampakan sikap tenang dan biasa. Duduk dikursi sambil memerhatikan kesibukan setiap orang di ruangan. Setelah obrolan sore hari kemarin, akad benar-benar dilangsungkan pagi ini, dihari Minggu.

Yang datang hanyalah Pak Kyai, Pak RT dan seorang ustadz muda yang merupakan murid Pak Kyai. Tak ada keluarga lain yang diundang, karena memang tak ada sanak saudara yang tinggal di kota ini dari pihak manapun.

Aku mengenakan gaun putih panjang bermodel sederhana yang dibelikan Tante Ivana kemarin malam di Mall kota. Sementara Aksa mengenakan setelan baju koko berwarna putih. Rambut panjangnya di styling rapi kebelakang. Sepertinya, ini kali pertama aku melihatnya tampil serapi ini.

Meja makan terisi begitu banyak kudapan yang Bulik Sri masak semalaman. Meskipun tak ada tamu lain, tetap saja Bulik Sri bersikeras untuk memasak beraneka macam makanan.

Nadya, pacar Javier turut datang, dan menjadi makeup artist dadakan untukku. Teman Javier yang lain yang bernama Fadil juga diundang untuk menjadi fotografer momen ini.

Aku tersenyum, entah kenapa, semua ini terasa lucu.

Karena posisiku di pojok, aku tak begitu mendengar hal-hal yang Pak Kyai bicarakan. Tapi setelah memberikan arahan dan wejangan—yang kebanyakan di utarakan dalam bahasa Jawa yang tak kupahami— akhirnya saat ijab kabul tiba juga.

Javier meletakan tangannya yang di gips diatas meja, yang langsung digenggam Aksa.

Situasi langsung hening, atmosfirnya berubah jadi lebih sentimental. Javier tampak memejamkan matanya sambil menunduk. Ia menghela napas, lalu membaca kalimat basmallah sebelum memulai.

"Saudara Alexander Angkasa Putra bin Irawan Putra, Saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan saudara perempuan saya, Alexandria Maudy Adhinata binti Gunawan Adhinata dengan mas kawin emas 33 gram dibayar tunai."

"Saya terima nikahnya Alexandria Maudy Adhinata binti Gunawan Adhinata dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Bagaimana Bapak Ibu, sah?" tanya Pak Kyai.

Hatiku mencelos saat mendengar orang-orang bersahutan menyebut kata sah.

Rasanya semua ini tak nyata.

Tante Ivana dan Bulik Sri memelukku bergantian, keduanya sama menitikan air mata. Sementara aku hanya mampu membalasnya dengan senyuman tipis.

Aksa memasangkan cincin emas dijariku, lalu gantian aku memasangkan cincin di jarinya. Aku menatap cincin yang melingkari jariku dengan perasaan campur aduk.

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang