Chapter 35

3.7K 220 0
                                    

Rumah yang dulunya terasa hangat sekarang begitu dingin, Aksa benar-benar hanya keluar kamar untuk makan, itupun aku yang memanggil. Sudah 4 hari lebih begini. Aku bingung harus mulai darimana untuk kembali menjalin hubungan dengan Aksa. Semua perilaku baik yang kutunjukan dibalas dengan sikap acuh. Rasanya, aku hampir frustasi

Sabtu ini Javier dan keluarga di Malang berkunjung ke rumah untuk menjenguk Aksa. Mama Ivana dan Papa Irawan sengaja datang untuk turut menjamu mereka.

"Masih jauh Bulik?" tanya Mama.

"Udah dekat Ma." jawabku sambil melihat share live location dari Javier. "Udah masuk gerbang cluster."

Aku beranjak ke depan rumah untuk menyambut keluargaku. Mereka menolak untuk naik pesawat dan lebih memilih untuk naik kereta api. Pak Wawan, supir orang tua Aksa yang menjemput mereka di stasiun.

Senyumku mengembang saat melihat mobil hitam yang familiar mendekat. Tak lama, Javier turun disusul dengan Bulik Sri dan Om Yanto.

"Sehat kak?" sapa Javier sambil memelukku.

"Alhamdulillah, kamu gimana? Udah bisa aktivitas normal kan?"

"Udah sih, cuma agak pincang aja, sama bekas luka katanya sih bakal lama hilangnya." jawab Javier sambil menunjukan beberapa bekas jahitan di tangannya.

Aku meringis melihatnya. "Yuk, masuk dulu."

Aku menyalami Bulik Sri dan Om Yanto, lalu mempersilakan mereka untuk masuk ke rumah. Mama Ivana dan Papa Irawan menyambut kedatangan keluargaku dengan ramah. Aksa, yang sedari tadi duduk diam di sofa sambil memainkan handphonenya turut menyapa keluargaku, meskipun aku tau sikap ramahnya itu palsu.

"Gimana Mas Aksa, badannya udah enakan?" tanya Javier ramah.

"Ah, iya, udah enakan kok, cuma kadang suka tiba-tiba pusing." jawab Aksa. "Kamu juga katanya abis kecelakaan ya?"

"Iya Mas, beberapa bulan sebelum Mas kecelakaan, aku duluan yang ditabrak truk." jawab Javier sambil menunjukan tangannya yang pernah patah. "Kaki, tanganku patah semua, sampai sekarang masih agak pincang jalannya."

"Eh, pada makan dulu ya, habis perjalanan jauh pasti lapar dan lelah banget." kata Mama Ivana.

"Aduh, terima kasih ya, kita jadi bikin repot." sahut Bulik Sri.

Mama Ivana mengibaskan tangannya. "Repot apanya? Kita justru senang sekali dikunjungi begini."

"Ah iya, minta maaf ya Mas, baru bisa menjenguk sekarang, kemarin-kemarin semuanya sakit gantian. Baru pada fit lagi sekarang." kata Javier.

"Nggak apa-apa, makasih ya udah repot jenguk." sahut Aksa.

Aku memerhatikan interaksi antara Aksa dan keluargaku. Pembawaan Javier yang supel membuat pertemuan keluarga ini tak canggung. Mereka membicarakan tentang banyak hal, terutama tentang bisnis souvenir kaktus yang dirintis Om Yanto dan Javier. Tak sekalipun perihal Aksa yang hilang ingatan dibahas dalam obrolan.

Ketika hari sudah gelap, Mama dan Papa pamit pulang ke rumahnya, Aksa memaksa untuk ikut agar keluargaku bisa leluasa menggunakan kamar di rumah, karena di rumah hanya ada 3 kamar—1 kamar utama, 1 kamar tamu dan 1 kamar ART. Tapi tentu saja itu hanya alasan saja.

"Kamu nih gimana, masa tamunya ditinggal? Nggak sopan, tau??" bisik Mama Ivana tak setuju saat Aksa mengikutinya keluar.

"Nggak apa-apa, Ma." kataku. "Mungkin Mas Aksa kurang nyaman sama kehadiran orang asing."

"Tapi tetep aja Ri... Mama jadi nggak enak sama Bulik!"

Aku tersenyum. "Semuanya pada ngerti kok sama keadaannya."

Aksa memasuki mobil tanpa banyak berkomentar lagi.

"Sampaikan maaf Mama ke Bulik ya, Ri." kata Mama Ivana sambil memelukku.

"Iya, Ma, santai aja, beneran nggak apa-apa kok."

Saat mobil mulai melaju dan meninggalkan area perumahan, aku kembali masuk rumah.

"Mas Aksa beneran lupa semuanya ya Kak?" tanya Javier, dia pasti sudah menahan rasa penasarannya sejak tadi.

"Iya... dia pikir ini masih 2015" jawabku.

"Nggak ingat kamu sama sekali?" tanya Om Yanto.

Aku menggeleng.

Bulik Sri menghela napas. "Pasti berat ya untuk kalian berdua... ada-ada saja ujian rumah tangganya..."

Aku tersenyum sedih. "Iya, doain ya Bulik, biar dia cepet kembali ingat."

Setelah berbincang sebentar, Bulik dan Om kupersilakan untuk istirahat di kamar tamu lantai atas. Javier menolak untuk tidur di kamar dan memilih untuk tidur di sofa ruang TV.

"Javi, kakak mau ngomong." kataku saat Bulik dan Om sudah diatas.

Javier menaruh handphonenya, "Kenapa kak?"

"Papa ninggalin kakak uang 1 milyar buat menikah." Aku memulai.

Mata Javier melebar. "Yang bener kak?"

Aku mengangguk. "Kakak tau dari Tante Anin. Terus kemarin kakak telfon notaris Papa, ternyata itu memang bener."

"Woaaah, kakak kaya dong sekarang?"

Aku tersenyum. "Uangnya kita bagi 2 ya?"

"Eh, kok gitu? Itu kan buat kakak, dari Papa." Javier menggeleng. "Kakak pakai lah untuk seneng-seneng, selama ini kan kakak sedih-sedih mulu."

Aku tersenyum mendengar jawaban Javier. "Kata siapa kakak sedih-sedih mulu? Enak aja."

Javier mengangkat bahu. "Pokoknya, itu uang buat kakak aja."

"Nggak, Javier... kakak yakin, seandainya Papa hidup lebih lama, Papa pasti bakal nyisihin uang buat kamu juga." kataku. "Kita bagi dua aja, biar adil. Kamu bisa pakai uangnya untuk kembangkan bisnis kamu lho."

Javier terdiam. "Terserah kakak deh."

"Besok, temenin kakak urusin semuanya ke notaris ya? Kakak udah buat janji ketemu."

***

Besoknya, aku dan Javier pergi ke kantor notaris yang mengurus wasiat Papa, sementara Bulik dan Om mampir ke rumah orang tua Aksa. Bapak notaris bertubuh gempal itu jelas terlihat canggung ketika berhadapan denganku. Tapi aku tak banyak bertanya dan berkomentar, meskipun tau kalau beliau berniat bersekongkol dengan Tante Anin untuk mendapatkan bagian dari uang itu.

Setelah menyelesaikan urusan di kantor notaris, aku dan Javier mampir ke Mal terdekat untuk makan siang. Kami tak berhenti mengobrol sepanjang perjalanan. Rasanya terharu mengetahui kalau adikku sudah dewasa dan bisa diajak berdiskusi banyak hal.

"Kak, semisal Mas Aksa beneran lupa ingatan selamanya, gimana?" tanya Javier tiba-tiba.

Aku bergumam. "Ya udah, jalanin aja."

Javier menghela napas. "Aku kepikiran sebenarnya, kasihan kakak."

"Lebih kasian Mas Aksa Jav, dia sebenarnya stress banget lho, sama keadaannya." kataku.

"Iya sih, tapi..." Javier meraih tanganku diatas meja dan menggenggamnya. "Semisal kakak nggak kuat, pulang ke Malang aja ya?"

Perkataannya membuatku termangu sesaat, sebelum tersenyum lebar. "Tenang aja, kakak pasti bisa laluin ini. Kamu jangan khawatirin kakak, orang kakak baik-baik aja!"

***

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang