Chapter 27

22.9K 1.2K 5
                                    

Aksa POV

Aksa bukan lahir dari keluarga yang agamais; ada berbagai macam jenis kepercayaan di keluarga besarnya. Papa Aksa turunan Jawa klenik yang menganut Islam cenderung sebagai formalitas, Mamanya turunan chinese yang baru menjadi mualaf dari generasi kakeknya. Meskipun orang tuanya orang baik dan lurus, ia tak pernah dibesarkan dengan ajaran agama Islam sebagai pegangan utama—semua pelajaran agama ia dapatkan dari sekolahnya yang memang selalu sekolah swasta islam.

Papa dan Mama Aksa baru kembali belajar agama beberapa tahun kebelakang, saat circle pergaulan mereka mulai mengadakan kajian-kajian bersama ustadz kondang, itupun awalnya hanya demi ikut tren saja. Baru di tahun 2022 setelah COVID selesai, kedua orang tua Aksa mencoba berangkat umroh.

Aksa tak pernah sholat, apalagi mengaji, kecuali di sekolah saat pelajaran agama. Tapi baru-baru ini, dia menemukan ketertarikan untuk belajar agama setelah bertemu dengan Ustadz Sopian, yang selalu mengisi khutbah shubuh di mesjid kecil depan clusternya. Ustadz Sopian lebih tua sedikit darinya, dia lulusan satu universitas ternama di Mesir. Materi ceramahnya selalu menarik minat Aksa, sampai Aksa menjadi akrab dan sering mengobrol dengan Ustadz Sopian selepas kajian shubuh.

Ustadz Sopian adalah jenis teman yang membawanya menjadi lebih berwawasan dan bijaksana akan hidupnya—berbanding terbalik dengan Jordan, yang merupakan jenis teman yang memacu hormon adrenalin dalam dirinya dengan hal-hal gila yang seringnya ia sesali kemudian.

Tapi Aksa sekarang bukanlah Aksa diawal umur 20 yang begitu menggebu untuk mencoba semua larangan. Ia sudah bosan dengan hal duniawi yang indahnya hanya sesaat. Dia butuh sesuatu yang lebih di hidupnya. Dan Aksa merasa, hidupnya jadi lebih bermakna setelah ia belajar tentang penciptanya sedikit demi sedikit.

Jika dulu kehidupannya seperti kapal yang terombang-ambing bebas tanpa tujuan, kini Aksa telah menemukan arahnya berlabuh. Ditambah lagi dengan kehadiran Aria beberapa bulan kebelakang.

Dia tak pernah menyangka orang sepertinya akan punya niatan kuat untuk menikah. Tata cara menikah dalam Islam saja baru ia pelajari 2 minggu kebelakang. Teman-teman sepergaulannya pun belum ada yang menikah. Aksa bukannya takut atau anti akan pernikahan—ia hanya tak punya ambisi untuk itu. Tapi itu dulu tentunya, sebelum ada Aria.

Aksa selalu merasa senang setiap memikirkan perempuan itu. Ada sesuatu tentangnya yang sangat menarik dan berbeda. Dan kini, ketika ia sudah mendapatkannya dalam genggaman, rasanya hidup Aksa semakin sempurna.

"Lo lagi seneng ya?" kata Leo yang entah sejak kapan sudah duduk didekatnya.

Aksa tak menjawab dan kembali fokus pada laptopnya.

"Udah bagus nih, up aja kontennya besok. Ada lagi nggak? Gua mau balik." tanya Aksa.

"Kenapa sih? Si Aria ya?" Leo penasaran. "Kasian lho, anak polos begitu jangan diisengin lama-lama, ntar bapernya beneran."

Aksa tak merespon.

"Hari jumat malem kemarin si Evelyn kesini lagi, ada masalah apa sih lo sama dia?"

"Nggak tau, tanyain aja sama orangnya."

"Udah gua tanya tapi dia malah marah-marah nggak jelas." jawab Leo, bete. "Lu kalau deket sama lonte liat-liat makanya, jangan asal cakep doang. Psikopat gini ribet sendiri kan lu."

Aksa menghela napas. "Emang rada-rada tuh cewek."

Evelyn bukanlah cewek pertama yang punya hubungan kasual dengan Aksa. Mereka pertama kali berkenalan di pesta tahun baru sebuah rooftop bar yang lumayan sering Aksa datangi. Awalnya Aksa meladeni cewek itu hanya karena iseng—jujur saja, dari segi fisik, Evelyn memang tipenya— tapi kalau tau bagaimana cewek itu sebenarnya, Aksa pasti tak akan mau berurusan dengannya sejak awal.

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang