Chapter 19

5.4K 345 4
                                    

Aksa POV

Aksa tak pernah merasa sechaos ini. Ia menyusuri tiap lantai mall, berharap bisa menangkap makhluk kecil yang tadi seenaknya meninggalkan dirinya yang masih berusaha mencerna keadaan.

Kepala Aksa seperti mau pecah. Dia harus bertemu dengan Aria. Meskipun diapun tak tahu pasti apa yang akan dia katakan, tapi dia tahu pasti apa yang akan dia lakukan—membawa perempuan itu kembali ke jangkauannya.

Aksa punya firasat kalau Aria tak akan berani menampakan batang hidungnya setelah pertunjukan kecil yang ia tampilkan tadi. Hati Aksa memanas saat teringat kejadian di mobil. Ia sengaja menghentikan ciuman itu karena tau kalau dilanjutkan, ia tak akan bisa dihentikan.

Ah, sial. Kali ini Aksa bersumpah, kalau dia tak akan melepaskan Aria. Mau apapun alasan cewek itu. Aksa selalu mendapatkan yang ia inginkan, termasuk hati Aria. Semuanya akan Aksa lakukan untuk bisa memenangkan hati perempuan itu—sekalipun dia harus menjadi seorang ustadz, misalnya, dia pasti akan lakukan!

"Si Aria balik kantor nggak?" tanya Aksa di telfon saat usahanya mengelilingi mall nihil.

"Aria? Nggak ada. Tadi bareng lu kan." Jawab Leo.

"Ya udah, kalau dia balik ruko, kabarin gue."

Aksa menutup telfon dan terduduk di kursi mall. Matanya awas mengawasi orang yang lalu lalang. Ia menyerah dan memutuskan untuk pergi saat Ben menelfonnya karena urusan mendesak di gudang.

Diperjalanan ke kantor, Aksa terus mencoba menelfon nomor Aria, tapi tak lama, nomor itu sudah dalam kondisi tidak aktif. Aksa mendecak. Pengecut.

"Lho? Nggak balik sama Aria?" tanya Leo saat Aksa sampai.

Aksa mengangkat bahu. "Nanti kalau ada dia, telfon gua ya."

"Lu mau kemana emang?"

"Ke gudang."

"Ooo sama Ben?"

Aksa mengangguk. Tak lama, Ben keluar dari kubikelnya sambil membawa tas ransel hitam berisi laptop.

"Akhirnya dateng juga lu! Ayo buruan!!"

***

Urusan di gudang membuat perhatian Aksa teralih sejenak. Setelah drama kapal tenggelam bulan lalu, untunglah bulan ini barang bisa diprodusi dan datang lebih cepat. Sekarang Aksa dan Ben bisa bernapas lega karena stok barang sudah kembali lengkap. Klaim asuransi yang mereka ajukan juga sudah cair sepenuhnya, sehingga sekarang cash flow mereka sudah membaik dan siap untuk melaksanakan strategi marketing yang sempat tertunda karena ketiadaan dana.

Waktu sudah menunjukan pukul 12 malam saat Aksa masuk ke area cluster. Ia masih berusaha menghubungi Aria, tapi hasilnya nihil. Dugaan aksa benar, cewek itu tidak berani kembali ke kantor.

Hujan petir mengguyur deras malam ini. Aksa mengernyit, tidur dimana cewek itu?

Tapi, nampaknya, Aksa tak perlu lagi khawatir tentang hal itu. Dari jauh, ia melihat sosok Aria berdiri di teras rumahnya. Entah kenapa tengah malam hujan begini berdiri diluar sendirian seperti itu.

Aksa memarkir mobil di halaman rumah, saat dia membuka pintu mobil, Aria langsung menghampirinya.

"Aku pinjam 100 juta."

Aksa menatap Aria. Raut wajah cewek itu tak terbaca. "100 juta?"

Aria mengangguk. "Sekarang juga. Kamu pasti punya kan?"

"Punya."

"Aku..." Aria menelan ludahnya sebelum melanjutkan. "Aku akan lakuin apapun, apapun, asal kamu transfer aku 100 juta sekarang."

"Apapun?"

Aria mengangguk mantap. "Apapun. Jadi pacarmu pun, aku mau. Bahkan fwb—"

Aksa mengernyit, berusaha untuk mengikuti alur percakapan ini. Aria nampak seperti tak sadarkan diri, ia terus mengoceh, wajahnya pucat pasi.

"Kamu kenapa, Aria?" tanya Aksa sambil mengamit dagu kecil Aria agar menatapnya.

Aria terdiam, lalu, satu bulir air mata keluar dari mata kanannya. "Javier kecelakaan."

Aksa terdiam. Javier...? Siapa Javier?

Belum sempat Aksa bertanya, tubuh kecil Aria ambruk kearahnya.

Cewek itu pingsan.

***

Aksa menggendong Aria masuk ke rumah, lalu merebahkan tubuh kecil perempuan itu diatas sofa. Ia mengambil handphone di saku— mencari penanganan pertama pada orang pingsan.

1. Pindahkan ke posisi aman ✅
2. Posisikan kaki lebih tinggi ✅
3. Longgarkan pakaian

Aksa menatap pada pakaian Aria, sepertinya pakaiannya cukup longgar. Tapi... Aksa terdiam sejenak, lalu tanpa banyak pikir ia memiringkan tubuh Aria dan menyusupkan tangannya ke punggung cewek itu—dalam satu gerakan mudah, ia melepaskan pengait bra yang Aria kenakan.

3. Longgarkan pakaian ✅
4. Cek pernapasan dan kinerja jantung ✅
5. Berikan minyak kayu putih atau aromatherapy

Aksa mengambil kotak obat yang disiapkan Mamanya di dalam lemari. Didalamnya, ada minyak kayu putih berukuran kecil yang masih tersegel.

Aksa membawa kotak obat itu dan meletakannya diatas coffee table. Setelah itu, ia mengoleskan sedikit minyak di bawah hidung Aria. Cara ini berhasil, karena tak lama, Aria mengernyit dan membuka pelan pelupuk matanya.

"Tiduran dulu, jangan langsung bangun." kata Aksa sambil duduk di kursi kecil samping sofa.

Tapi Aria tak menghiraukannya, ia memaksa dirinya untuk bangun.

"Eh, pelan-pelan." Aksa berdiri dan membantu Aria duduk.

Aria menatapnya, kali ini dengan perasaan kalut yang tergambar jelas.

"Tolongin adikku, Mas Aksa." kata Aria sambil menarik lengan kaos Aksa.

Ah iya, Javier itu nama adik Aria. Aksa baru ingat.

"Kenapa adik kamu? Kecelakaan dimana?"

Aria menggeleng. "Aku belum tau detailnya. Tapi kata Bulik... dia harus dioperasi segera... soalnya... soalnya tulang lehernya patah, tulang kaki sama tangannya juga. Tolong, Mas Aksa, tolongin aku! Aku bakal lakuin apa aja... apa aja!!"

Tangan Aria bergetar hebat di dada Aksa. Refleks Aksa merengkuhnya kedalam pelukan. Rasanya hati Aksa sedih sekali mendengar tangisan Aria.

"Kamu tenang dulu, aku pasti bantu. Nggak usah khawatir."

Perkataan Aksa membuat Aria mengangkat kepalanya. Wajahnya sudah banjir air mata. Aksa mengambil tisu dan menyusut ingus dari hidung Aria.

"Ma-kasih Mas."

"Yaudah, kita berangkat sekarang, ke Malang, kan?"

Aria mengangguk. Aksa mengambil handphonenya dan menelfon Pak Wandi, supir  keluarganya. Hari sudah menunjukan pukul 2 pagi. Aksa tak mau mengambil resiko untuk menyetir, karena jujur, diapun lelah sekali sekarang.

Lalu, ia membuka aplikasi travel di handphonenya dan menyerahkannya pada Aria.

"Pilih penerbangan terpagi aja, nanti bayarnya langsung pake CC, pinnya sama kayak pin pintu rumah."

Aria menerima handphone Aksa.

"Naik pesawat?"

"Iya, biar cepet. Pesen 2 seat ya, aku temenin."

Aria menatap Aksa sebentar sebelum mengangguk.

"Aku keatas dulu ya, siap-siap sebentar."

***

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang