Aku sadar ada suatu hal yang salah.Meskipun hubunganku dan Aksa mulai kembali terjalin seperti dulu, hatiku rasanya tak tenang. Ada sesuatu yang sedang terjadi, tapi aku tak tahu apa.
Sudah 2 minggu sejak aku memberanikan diri untuk mengajak Aksa tidur satu kamar. Kami banyak mengobrol sebelum tidur, kadang juga berhubungan layaknya suami istri, tapi kadang aku merasa kalau Aksa tak benar-benar ada di sampingku.
Hal itu membuatku galau sendiri. Apa ada yang salah diantara kami? Tapi apa? Rutinitas harian kami selalu sama. Bangun pagi-kerja-pulang kerumah bersama-istirahat. Tak ada yang aneh, tak ada yang beda.
Aku terbatuk, lalu menyesap air lemon madu yang kubuat. Hari ini aku izin kerja karena badanku mendadak demam, kepalaku juga terasa pusing sekali. Sejak kemarin aku batuk-pilek, dan pagi ini aku terbangun dengan demam yang lumayan tinggi, sepertinya aku terkena flu.
Tadi Aksa menawarkan untuk mengantarku ke dokter, tapi aku menolak karena rasanya hal ini masih bisa di sembukan oleh obat flu yang dijual bebas. Yang kubutuhkan hanya istirahat yang cukup.
Jadilah sekarang aku berbaring di sofa sambil menonton film random di netflix agar tak bosan. Saat hampir tertidur, handphoneku bergetar diatas meja. Kak Leo menelfon.
"Halo?"
"Halo Ri, sorry ganggu, gua mau minta file AP yang mau di edit, kirimin gua ya link gdrive nya."
"Oh ok kak, bentar."
Aku bangkit dan membuka laptop Aksa yang ditinggal di atas meja makan, saat hendak mengirim link gdrive yang Kak Leo butuhkan via whatsapp web, mataku melebar saat melihat satu nama di kolom Chats.
Hazel Angeline?
Setelah mengirim link itu pada Kak Leo dari whatsapp Aksa, tanganku bergerak dan membuka chat dari Hazel. Jantungku seketika seperti berhenti berdetak. Napasku berpacu cepat seiring dengan jemariku yang bergerak menyusuri isi chat mereka.
Ternyata feelingku benar—ada sesuatu yang sedang terjadi.
***
"Yang ini tempatnya Kak?"
Pertanyaan dari Pak Samsudin, driver taksi online yang mengantarku membuyarkan lamunan. Aku membaca plang nama sebuah restoran yang terasa asing itu.
"Bener Pak." jawabku. Aku memejam, kepalaku pening sekali. "Pak, kalau saya minta bapak temani saya menunggu seseorang, bisa? Nanti saya bayar lebih."
"Oh, kira-kira lama nggak kak?"
"Hmm, mungkin satu jam?"
"Tapi trip ini saya selesaikan dulu ya? Biar saya bisa off aplikasi."
Aku mengangguk. Tak lama setelah itu, hatiku mencelos saat melihat Aksa keluar dari pintu restoran bersama dengan seorang perempuan cantik. Aku tak salah, itu memang Hazel. Wajahnya sama dengan foto profil whatsappnya. Cewek itu memeluk lengan Aksa begitu akrab. Mereka tampak sedang membicarakan sesuatu yang seru sebelum masuk kedalam mobil.
"Pak, ikutin mobil yang itu ya." kataku.
"Yang warna hitam neng?"
"Iya, yang plat belalangnya KN."
"Siap neng."
Jantungku memacu cepat, mau kemana mereka?
Beberapa menit kemudian, kami sampai ke sebuah kompleks apartemen, aku meminta Pak Samsudin untuk masuk ke gate, dan terus membuntuti mobil Aksa. Mobil Aksa masuk ke basemen dan parkir disana, dengan tanggap Pak Samsudin juga memarkir mobilnya di tempat yang tak jauh dari mobil itu.
Aku duduk diam dan memerhatikan semuanya. Aksa dan Hazel keluar dari mobil dan berjalan masuk ke area lift sambil berpegangan tangan. Hatiku terasa nyeri. Aku menggenggam tas slempang yang kukenakan erat-erat.
"Pak, bisa antar saya ke tempat lain?" tanyaku dengan suara lirih.
"Bisa, neng."
"Ke stasiun gambir ya Pak."
"Baik, neng."
Hari ini, aku putuskan untuk menyerah.
***
Aku duduk di peron sambil melamun, sesekali terbatuk heboh, lalu melamun lagi. Entah dosa apa yang kuperbuat, sampai hidupku dipenuhi hal buruk seperti ini.
Aku tak tahu sebenarnya apa yang kurasa. Marahkah? Sedihkah? Atau kecewa? Mungkin, kombinasi semua perasaan itulah yang membuatku merasa begitu hampa dan lelah. Sampai-sampai yang bisa kulakukan hanya duduk diam dan tetap bernapas.
Kereta Api Argo Lawu tujuan Jogjakarta akan memasuki peron...
Aku berdiri mendengar pengumuman dari pengeras suara itu. Suara bising dari kereta yang bergerak cepat menambah pening kepalaku. Ketika kereta itu berhenti dan pintunya terbuka, aku segera masuk dan mencari tempat dudukku, rasanya, semenit lagi berdiri aku bisa pingsan.
Aku membuka air mineral yang barusan kubeli dan meminum obat flu serta vitamin bersamaan. Disaat seperti ini, yang kubutuhkan adalah sehat agar dapat berpikir jernih. Aku memejam, berusaha untuk tidur, tapi kepalaku berdenyut begitu kencang sampai rasanya aku mau muntah.
Perasaanku sedikit lega saat kereta mulai beranjak. Aku menatap ke pemandangan diluar, langit sudah mulai menggelap dan lampu jalan sudah mulai dinyalakan.
Handphoneku terus bergetar sejak satu jam lalu. Aku sadar akan hal itu, tapi sengaja ku abaikan. Saat perjalanan sudah setengah jam ditempuh, aku baru memgambil handphone di tas dan mengangkat telfon dari Aksa—untuk terakhir kalinya.
"Aria?? Kamu dimana??"
Aku menghela napas. "Urus perceraian kita ya."
"Aria—"
"Semua dokumen penting tentangku ada di lemari kamar bawah. Kalau butuh sesuatu, email aku aja detailnya, aku pasti kooperatif. Nanti aku kirim orang untuk ambil barang-barangku dari rumah kamu. Hmm, apalagi ya? Udah sih, itu aja. Saat ini aku nggak mau diganggu, jadi tolong pengertiannya ya, makasih."
Aku menutup telfon sebelum Aksa sempat balas bicara. Tanpa pikir panjang aku memblokir nomornya, dan mematikan handphoneku.
Perjalanan ke Jogjakarta kulalui dengan banyak melamun sambil menatap keluar jendela. Obat yang kuminum mulai terasa efeknya. Kepalaku tak sepening tadi, badanku juga sudah tak panas.
Perjalanan ini begitu mendadak, mungkin bisa dibilang tanpa perhitungan. Tapi meskipun hanya sejenak, aku sungguh butuh melarikan diri. Aku tak akan bisa tegar kalau harus berada di dekat Aksa sekarang, hatiku terlalu hancur.
Bibirku mengulas senyum tipis. Ternyata, sekalipun aku berusaha, Aksa tetap tak lagi memiliki perasaan yang sama. Ia bukanlah Aksa yang dulu kukenal. Kasihan dia, mungkin selama beberapa minggu ini dia terpaksa bersikap baik padaku, pura-pura kembali sayang padaku, padahal hatinya berada di tempat lain.
Aku tak mau dia sampai diam-diam berhubungan dengan perempuan lain begini. Karena, kalau memang di ingatannya dia masih berusia 21 tahun dan sedang menjalin hubungan dengan Hazel, berarti sebenarnya akulah yang jadi orang ketiga diantara mereka.
Aku bukannya sedang sok bijaksana. Sebenarnya mudah saja kalau aku mau melihat ini dari sudut pandang seorang istri yang dikhianati dan menyalahkan Aksa sepenuhnya, tapi aku enggan melihat diriku terus-menerus jadi korban. Aku tak mau jadi pihak yang lemah dan perlu dikasihani.
Biarlah aku menyimpan rasa sakit dan kecewa ini dalam hati. Setidaknya aku pernah merasakan perasaan sayang dan cinta pada laki-laki di satu titik hidupku, meskipun ceritanya berakhir tragis seperti ini.
Aku menghela napas panjang. Belum genap setahun, tapi banyak sekali hal yang sudah kulalui. Tapi sekarang semua telah selesai. Kuharap, kalau masih diberi umur, Tuhan akan berikanku banyak ketenangan di tahun depan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
He Was My First Kiss
RomanceJadi ART di rumah seorang laki-laki brengsek yang pernah menciumnya hanya karena kalah taruhan?? Aria rasanya ingin kabur saja saat tau siapa majikannya, tapi situasinya tak semudah itu, ia benar-benar butuh uang untuk bertahan hidup. _________ Seme...