Suara ayam jago yang berkokok lantang membangunkanku dari tidur lelap. Tubuhku menggigil saat merasakan dinginnya udara pagi. Aku segera bangun, mematikan kipas dan beranjak ke kamar mandi. Seluruh badanku terasa lengket sekali, akupun belum sempat sholat maghrib dan isya kemarin.
Selepas mandi, berganti pakaian bersih dan sholat, aku keluar kamar. Di dapur, Bulik sudah sibuk membuat makanan. Om Yanto tampak siap untuk berangkat ke Masjid dengan baju koko dan sajadah yang disampirkan di bahu.
"Memang disekitar sini ada masjid om?" tanyaku.
"Oh ya ada nduk, kalau naik sepeda, 3 menit jaraknya."
"Ooo."
Aku membantu Bulik Sri memotong-motong jagung dan singkong yang akan direbus, lalu membuat teh manis hangat untukku sendiri. Rasanya seperti sedang berlibur ke rumah nenek, sangat menyenangkan.
Aku duduk di teras rumah sambil menatap fajar menyingsing. Tak lama, Bulik datang membawa jagung dan singkong rebus yang masih panas mengepul.
"Nanti kita berangkat ke rumah sakit jam 8 ya nduk." kata Bulik sambil duduk disampingku.
"Iya, Bulik."
"Kamu sehat, nduk?"
"Alhamdulillah, Aria sehat Bulik."
"Kata Mas Javi, kamu kerja di Jakarta?"
"Iya, Bulik."
Bulik menggenggam tanganku yang bebas. "Kalau kamu ada kesulitan, jangan dipendam sendiri, ingat, kamu kan masih punya keluarga."
Aku tersenyum dan membalas genggaman tangan Bulik. "Iya, Bulik, tapi sejauh ini semua lancar-lancar aja kok. Bos Ari di Jakarta baik-baik."
Bulik tersenyum lega. "Begitu? Syukur Alhamdulillah..."
"Kalau Aria tinggal disini, gimana Bulik?"
Entah kenapa, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Mata Bulik melebar.
"Oh ya Bulik dengan senang hati menerimamu disini. Kan sejak dulu Bulik sudah ajak kamu kesini toh? Tapi kamunya selalu menolak."
Belum sempat aku menjawab, handphoneku diatas meja bergetar. Nampak kontak Aksa muncul dilayar. Aku mengernyit, ngapain dia telfon pagi-pagi?
"Mas Aksa tuh, angkat gih." kata Bulik yang juga melihat layar handphoneku. Niatku untuk mengabaikan telfon dari Aksa gagal seketika.
"Permisi dulu ya, Bulik." Aku berdiri sambil menggamit handphone, lalu masuk ke rumah.
"Halo?" terdengar suara Aksa dari kejauhan.
"Kenapa, Mas Aksa?"
"Kangen."
Aku bergumam, kangen apaan coba? aneh. "Tumben banget pagi udah bangun?"
"Habis sholat shubuh di masjid dong."
"Ooo... pinter."
"Video call dong."
"Ngapain? Nggak usah ah."
"Orang dibilang kangen."
Aku mereject request video call yang muncul di layar handphone.
"Lho?? Kok di reject ya?"
"Males ah."
"Aria, accept! Kalau nggak, aku kesana sekarang."
Aku mendengus. "Yaudah, kesini aja."
"Bener ya? Bawa keluarga, lamaran sekalian."
Perkataan Aksa sukses membuatku menekan tombol hijau untuk menerima request video callnya. Wajah Aksa yang mesem-mesem ngeselin langsung memenuhi layar handphoneku.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Was My First Kiss
RomantikJadi ART di rumah seorang laki-laki brengsek yang pernah menciumnya hanya karena kalah taruhan?? Aria rasanya ingin kabur saja saat tau siapa majikannya, tapi situasinya tak semudah itu, ia benar-benar butuh uang untuk bertahan hidup. _________ Seme...