Chapter 46

20.7K 1.3K 12
                                    

Kaget banget tiba-tiba rame?!? Terharu 🥹🫵 thank you so much! Aku kasih 2 part sekaligus untuk kalian, enjoy❤️

***

Aku terbangun dari tidurku yang tak lelap karena perasaan mual yang tiba-tiba melanda. Cepat-cepat aku beranjak ke kamar mandi untuk muntah, perutku rasanya seperti dikuras bersih.

"Kita ke rumah sakit aja ya?"

Aku menggeleng dan menepis tangan Aksa yang mengurut leherku. Setelah kumur dan mencuci muka, aku kembali ke ranjang dan mengubur diriku didalam selimut.

"Aria, udah pagi, kita makan yuk? Kamu belum makan kan dari semalam?"

Rasanya aku sebal sekali mendengar suara Aksa. Bisa nggak sih dia pergi saja?? Ganggu banget!

"Aku pesenin sarapan kesini ya?"

Aku tak menjawab dan mengeratkan selimut yang membungkus tubuhku. Aksa terdengar memesan makanan melalui telfon hotel. Setelah itu, suaranya tak terdengar lagi. Semalaman dia duduk di samping ranjang, entah tidur atau tidak. Setelah obrolan kami tadi malam, aku tak lagi merasa butuh bicara dengannya dan memilih untuk tidur.

Tak lama, makanan diantar dan ditata diatas meja. Saat room service sudah pergi, aku bisa merasakan Aksa berdiri lama disampingku.

"Aria, makan dulu yuk."

Aku bergeming. Rasanya aku tak ingin beranjak dari kasur, tapi aku ingat pesan dokter—aku harus makan, meskipun sedikit. Akhirnya aku bangun dan beranjak ke meja tempatku menaruh tas untuk meminum obat anti mual.

"Itu obat dari dokter?"

Aku tak menjawab dan langsung menuju ke meja tempat makanan disajikan. Aku mencomot satu roti unyil dan mencoba memakannya, saat kurasa perutku bisa menerima, aku menghabiskannya.

Aksa duduk di kursi sebrangku, diam memerhatikan.

"Enak makanannya?"

Aku mengabaikannya dan mencoba beberapa makanan lain yang rasanya cenderung manis. Saat perutku sudah terasa kenyang, aku beranjak untuk meminum vitamin dari dokter, sekaligus mengambil handphoneku di tas.

Aku kembali ke ranjang dan membungkus tubuhku dengan selimut. Baterai handphoneku sisa 4% lagi, aku sebenarnya tak tau mau melakukan apa, jadi aku hanya asal scroll sosial media saja.

"Aria, kita pulang ya?"

Suara Aksa membuat emosiku mendidih. Rasanya kalau punya lakban, aku ingin menutup mulutnya biar dia diam. Bayangannya yang begitu akrab berpegangan tangan dengan Hazel terngiang di kepalaku. Cowok brengsek.

Sebuah pesan whatsapp dari Mama Ivana masuk, aku membukanya dengan perasaan was-was.

Mama Ivana
Aria sayang...
Kamu lagi ada masalah ya sama Aksa?
Maafin Aksa ya nak? Kalau dia ada salah, itu karena Mama kurang mendidiknya dengan baik
Nanti Mama akan pastikan si Aksa belajar untuk lebih menghargai kamu
Mama harap kalian bisa baikan, ya?
Ujian rumah tangga kalian memang berat, tapi Mama yakin kalian bisa lalui ini
Kalau udah tenang, pulang ya sayang?
Mau pulang ke rumah Mama juga boleh, karena rumah ini rumah kamu juga
Nanti Mama pastikan si Aksa nggak boleh masuk
Sayang kamu, anakku

Air mataku merembes begitu saja membacanya. Mama Ivana memang sering bawel dan merepotkan, tapi rasa sayang dan perhatiannya padaku begitu tulus dan nyata. Setelah lama merindukan sosok ibu, aku tak mau kehilangan lagi.

Aku menghapus air mataku dengan tangan dan mulai membalas.

Iya Ma, maaf ya bikin khawatir
Aria juga sayang banget sama Mama
Besok Aria kesana ya, mau nginap
Tapi boleh nggak Ma, Mas Aksanya disuruh pergi dulu?
Aria belum mau ketemu

Mama Ivana
Alhamdulillah, Mama lega kamu balas Nak
Boleh dong, tinggal disini sama Mama selama yang kamu mau
Mama pastikan si Aksa itu nggak gangguin kamu

Aku tersenyum membacanya. Setidaknya, sekarang aku punya tempat berlindung. Aku membuka selimutku dan beringsut duduk. Aksa langsung berdiri begitu aku menatapnya.

"Aku mau pulang." kataku. "Tapi ke rumah Mama."

***

Perjalanan dari Jogjakarta ke Jakarta kulalui dengan diam seribu bahasa. Selain malas berinteraksi dengan Aksa, aku juga menahan mual yang luar biasa. Lidahku pahit, kepalaku pusing, tubuhku terasa begitu ringkih. Rasanya aku ingin segera merebahkan badan di ranjang.

Saat kereta api akhirnya sampai ke stasiun terakhir, Pak Wawan, supir orang tua Aksa sudah menunggu kami. Untungnya bawaanku tak banyak, hanya satu kantong kecil berisi baju kotor. Aksa juga, dia malah sepertinya tak bawa apa-apa.

Aksa tak banyak merecokiku. Dia hanya memintaku untuk makan di waktu makan. Tak sulit untuk mengabaikannya dengan suasana hatiku yang jelek ini.

Mama Ivana sudah menunggu kedatangan kami. Ia langsung memelukku erat begitu aku masuk ke rumah.

"Sehat anak Mama?" tanyanya.

"Agak gak enak badan nih Ma." jawabku jujur.

"Haduh, pasti tekanan batin ya gara-gara si Aksa?"

Aku tersenyum tipis mendengarnya. Mama Ivana menggamit lenganku dan membawaku ke kamar tamu yang nampak baru saja dibersihkan.

"Mama tau kamu pasti capek banget kan? Take your time untuk istirahat. Mama pastikan si Aksa nggak akan gangguin kamu."

Aku mengangguk. "Makasih ya Ma... Aria memang lagi butuh waktu sendiri."

"Mama ngerti... kalau seandainya kamu mau sharing sama Mama, kamu jangan ragu ya." kata Mama Ivana. "Kali aja kita bisa bareng-bareng cari solusi... ih, kamu kok pucat banget ya? Udah ke dokter?"

Aku mengangguk. "Udah dikasih obat juga kok Ma."

"Ya udah, sekarang kamu istirahat, Mama nggak bakal ganggu. Baju bersih juga ada didalam lemari ya, semuanya udah Mama siapkan biar kamu betah."

"Ma, makasih..."

"Sama-sama sayang."

Tak lama kemudian, aku benar-benar ditinggal sendiri. Aku sengaja langsung mengunci kamar, takut kalau Aksa tiba-tiba menerobos masuk. Rasanya tubuhku begitu lega saat berbaring diatas kasur. Akhirnya...

Aku menatap plafon kamar sambil melamun. Kapan ya, waktu yang tepat untuk menceritakan kehamilan ini? Aku tau tak mungkin untukku menutupi hal ini selamanya. Lagipula, kehamilan ini pasti jadi berita yang dinantikan keluarga.

Aku menghela napas dan mengelus perutku pelan. Senenarnya akupun tau lambat laun hal ini pasti terjadi. Aku tak lagi menggunakan kontrasepsi jenis apapun setelah beberapa bulan lalu sempat suntik KB 3 bulan. Bukan apa-apa, efek suntik KB yang membuatku tidak haid sama sekali membuatku takut sendiri.

Jujur, aku bukannya sedih karena hamil. Aku selalu ingin punya anak dan menjadi seorang ibu. Tapi keadaan hubunganku dan Aksa yang membuat semua ini jadi terasa berat dijalani.

Tanganku mengepal mengingat momen ketika Aksa dan perempuan itu memasuki lift apartemen. Mereka jelas melakukan hal-hal diluar batas, dan aku tak mungkin bisa memaafkan Aksa kali ini. Terlebih, malam sebelumnya, dia masih melakukannya juga denganku.

Air mataku kembali meleleh. Kenapa aku saja tak cukup untuknya? Kenapa harus ada perempuan lain?? Dasar bajingan.

Aku bangun dan duduk di ranjang sambil memeluk kedua lututku, lalu mulai menangis sesegukan, menumpahkan semuanya. Rasanya hatiku sakit sekali. Tak biasanya aku merasa serapuh ini, tapi mumpung bisa menangis, aku tak akan menahannya kali ini.

***

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang