Chapter 23

25.7K 1.5K 15
                                    

Langit sudah gelap saat kami sampai ke sebuah cafe bergaya industrial setelah mengantar orang tua Aksa ke bandara. Karena berencana stay di Malang sampai hari Minggu, Aksa sengaja menyewa mobil.

Sedari tadi, cowok ini tak pernah melepaskan genggamannya. Bukannya aku kegeeran, tapi Aksa nampak benar-benar punya perasaan spesial padaku.

Memikirkannya saja bulu kudukku merinding.

Bukan apa-apa, sedari dulu, aku memang nggak pernah nyaman disukai oleh lawan jenis. Aku juga tak pernah punya perasaan semacam itu pada siapapun. Apalagi setelah mendapat masalah keluarga yang bertubi-tubi, aku seperti tak punya keinginan untuk menjalin hubungan asmara dengan siapapun.

"Mikirin apa? Daritadi diem aja." komentar Aksa sambil memarkirkan mobilnya di pekarangan cafe.

"Mikir... pegangan tangan terus tuh, gerah ya."

Disindir begitu, Aksa malah mempererat genggamannya. "Biasain."

Aku menghela napas. "Lepas dulu, kan mau turun."

"Di mobil gini, jadi inget sesuatu nggak?"

Pertanyaan Aksa membuatku kaku. Dari senyum usilnya, aku tau persis apa maksud perkataan cowok ini. Aku menarik tanganku dari genggamannya dan melipat tangan di dada.

"Apa??" kataku ketus.

"Waktu itu aja, berani banget." sindirnya.

Aku menghela napas. "Jangan ungkit-ungkit deh, aku juga nyesel, harusnya aku nggak gitu."

"Emang, harusnya gimana?"

"Ya harusnya aku langsung kabur aja."

Aksa tertawa. "Kalau mau berani jangan setengah-setengah lah."

Aku mendelik. "Jadi turun nggak sih?"

"Hmm, kalau ke hotelku, mau?"

"Jangan gila-gila deh!" kataku galak, yang disambut dengan gelak tawa Aksa.

Aku langsung turun begitu kunci pintu mobil otomatis terbuka. Rasanya berada diruang sempit dengan Aksa membuatku pengap. Ugh. Tanpa menunggu, aku masuk ke cafe dan mencari tempat duduk, sementara Aksa mengekoriku dari belakang.

Seorang waitress menyambut kami dan menyerahkan buku menu.

"Pesan pasta carbonara sama orange juice satu ya Mbak." kataku.

"Baik, ada lagi?"

"Samain aja, mbak." kata Aksa tanpa membuka buku menu sama sekali.

"Jadi 2 pasta carbonara dan 2 orange juice ya Kak?"

"Iya."

"Baik ditunggu ya."

Aku menopang dagu sambil memerhatikan orang lalu-lalang. Ambience cafe ini nyaman, dengan pencahayaaan yang redup. Beberapa orang nampak sibuk didepan laptopnya. Ada juga kumpulan anak muda yang mengobrol seru.

Perhatianku teralih saat Aksa menggenggam tanganku.

"Suka banget pegangan tangan ya?" tanyaku risih.

"Sama kamu, iya."

Aku memutar bola mata. "Obat diminum terus nggak?"

Aksa mengangguk. "Udah mau habis kok, senin depan kontrol lagi, kan?"

"Ooo, pinter. Kukira lupa."

"Aku harus sehat, kan, mau nikah sama kamu."

Perkataan Aksa membuatku meringis. "Kamu rencana mau isengin aku seumur hidup ya? Jujur deh, aku ada salah apa sih, sama kamu?"

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang