Chapter 47

21.8K 1.3K 21
                                    

Aksa pov

Aksa baru akan mengetuk pintu kamar tamu yang Aria tempati, saat ia mendengar suara tangisan yang begitu menyayat hati.

Kakinya melangkah mundur sampai punggungnya bertemu dengan tembok. Ia menghela napas dan memejam. Kalau ada mesin waktu, ia pasti akan kembali ke saat dimana hubungannya dan Aria baik-baik saja. Dasar tolol.

"Ngapain kamu? Udah dibilang jangan gangguin Aria!"

Mamanya muncul diujung lorong sambil berkacak pinggang. Aksa menghela napas dan melangkah gontai kearahnya.

"Kamu apain sih dia? Sampai sesedih itu?"

Aksa tak menjawab dan melewati Mamanya, beranjak menuju kamarnya di lantai dua. Ia sungguh tak punya energi untuk melakukan apapun saat ini.

Aksa merebahkan badannya diatas ranjang, pikirannya sungguh kalut, tubuhnya lelah, hatinya tak tenang. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Aria saat jni juga, memeluknya saat ini juga, tapi ia tahu kalau ia butuh bersabar.

Dan kalau dengan bersabar ia bisa meraih Aria kembali, Aksa siap untuk melakukannya, meski kesabaran hampir membuatnya gila.

***

Pagi itu, suasana begitu hening. Mamanya yang biasa banyak bicara jelas tengah kesal dengan Aksa, Papanya juga lebih memilih untuk ikut diam daripada memperkeruh suasana. Yang terdengar hanya suara denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.

Saat sosok Aria yang dinanti datang, Aksa dan Mamanya sama-sama berdiri dari kursinya.

"Pagi, sayang, gimana, badannya enakan?" sambut Mama Aksa.

Aria tersenyum. "Enakan kok Ma."

"Kita ke dokter aja." kata Aksa saat melihat wajah Aria yang sepucat kertas.

Lagi-lagi Aria tak menghiraukannya, ia berjalan mendekati Mamanya.

"Sarapan dulu, Mbak Asih masak nasi goreng seafood enak banget nih."

Tiba-tiba Aria melangkah mundur sambil menutup mulutnya. Ia berlari kearah wastafel dan muntah-muntah.

Aksa dan Mamanya refleks berlari mendekati Aria.

"Kita ke dokter aja sekarang, Aria." Aksa bersikeras. Sejak awal ia tahu ada yang tak beres dengan Aria.

"Iya, kamu salah makan kali ya??" timpal Mamanya. "Apa hamil??"

Perkataan Mamanya membuat Aksa tertegun. Aria menyeka mulutnya dengan air.

"Iya, Ma, Aria hamil." katanya.

Ruangan kembali hening, tanpa berkata apapun Mama Aksa menghampiri dan memeluk Aria.

Aksa menatap Aria yang tentu saja tak balas menatapnya. Jantungnya langsung berpacu cepat.

Aria hamil...?

***

Aria benar hamil.

Mereka baru saja pulang dari rumah sakit. Dokter bilang, usia kandungannya pas 3 minggu. Tadi Aria juga sempat diinfus karena dehidrasi.

Sebenarnya, Aksa ingin sekali menyuruh pergi orang tuanya, ia butuh untuk berbicara empat mata dengan Aria. Tapi, Aria tampak enggan berdekatan dengan Aksa. Sepatah katapun ia sama sekali tak mau diajak bicara.

Aksa tak bisa lagi menahan diri untuk bersabar. Di malam hari, saat kedua orang tuanya sudah tidur, Aksa mengetuk pelan pintu kamar tamu. Ia menunggu—tapi Aria tak kunjung muncul. Rasanya, Aksa ingin sekali mendobrak pintu dihadapannya.

Aksa menghela napas, sabar, Aksa!

Tapi kemudian, suara kunci pintu yang diputar terdengar. Tak lama, sosok Aria muncul.

"Apa...?" tanya Aria pelan.

Harapan di hati Aksa meluap-luap. "Boleh kita bicara?"

Aria terdiam, lalu ia membuka pintu kamarnya lebih lebar. Aksa tak melewatkan kesempatan ini dan langsung memasuki kamar.

Aria duduk di tepi ranjang dan menatapnya datar.

"Mau ngomong apa? Cepet, aku ngantuk."

Aksa mendekati Aria dan duduk di sampingnya.

Aria langsung beringsut menjauh. "Nggak usah deket-deket."

"Aria..."

"Apa??"

"Rencananya sampai kapan mau gini..."

Aria menatap Aksa dengan galak. "Maksudnya???"

Aksa terdiam, memikirkan kata-kata yang pas agar Aria tak semakin emosi dengannya. "Nggak apa-apa kalau kamu mau gini terus, aku terima, seumur hidup juga nggak masalah, asal bareng kamu."

Aria mendengus. "Mau ngomong gitu doang? Udah? Sana keluar."

"Aria... aku seneng banget kamu hamil anakku."

Perkataan Aksa membuat Aria terdiam sesaat sebelum melipat tangan didada. "Emang kamu yakin ini anak kamu?"

Aksa mengernyit, "Iya lah, emang anak siapa lagi?"

Aria mendengus. "Iya ya? Emangnya aku kamu apa?"

Perkataan cewek itu membuat Aksa mencelos. "Aria... ayo kita mulai lagi dari awal."

Aria tertawa. "Iya, ayo mulai dari awal, bersikap seolah semuanya baik-baik aja." katanya sarkas.

"Aria, aku nggak bisa balik ke masa lalu. Yang aku bisa menebus kesalahanku ke kamu dimasa sekarang dan dimasa depan." balas Aksa. "Aku mohon, kasih aku kesempatan untuk buktiin ke kamu—aku bisa jadi suami yang baik untuk kamu, ayah yang baik untuk anak kita."

Aria terdiam, tiba-tiba, air mata bergulir di pipinya.

"Kenapa kamu selingkuh, sih? Emang aku nggak cukup ya? Apa bakal selalu gini?"

Aksa berlutut dihadapan Aria dan menggenggam tangannya. "Nggak akan terjadi lagi, aku berani sumpah."

"Bullshit tau nggak. Huhuuuu."

Aksa membiarkan Aria menangis. Sebenarnya ia bingung harus berkata apalagi. Rasanya, semua yang keluar dari mulutnya terdengar seperti bualan. Aksa hanya bisa menggenggam tangan Aria erat, berharap perasaan tulus dan penyesalannya tersampaikan.

"Tisu." pinta Aria setelah lama menangis.

Aksa berdiri dan meraih tisu di meja rias. Ia duduk disamping Aria dan menunggu perempuan itu tenang.

"Kalau kamu memang mau jalanin pernikahan ini, ya udah..." Kata Aria. "Tapi, aku nggak akan mau lagi kamu ajak berhubungan."

Aksa terdiam mendengarnya.

"Kalau kamu lagi mau, kamu cari aja cewek lain, aku nggak masalah—"

"Aria, nggak gitu konsepnya." sela Aksa.

"Apa??? Bukannya gampang ya buat kamu celup sana-sini? Kemarin aja, kamu tetep cari perempuan lain meskipun udah ngelakuin sama aku." sergah Aria penuh emosi. "Aku nggak mau ya, ikut-ikutan kena penyakit!"

"Aku nggak pernah berhubungan badan sama siapapun selain kamu, Aria." jelas Aksa. "At least setelah kita nikah."

Aria mendengus. "Kamu kira aku bego?? Aku liat sendiri kamu masuk apartemen sama perempuan itu!"

Aksa menghela napas. "Aku nggak tau gimana cara biar kamu percaya, tapi aku emang nggak ngelakuin apapun sama dia, kecuali—" Aksa terdiam, menimbang-nimbang apa ia harus berkata jujur atau tidak.

"Kecuali apa???"

Aksa menghela napas lagi. "Kecuali ciuman. Udah, itu aja."

Perkataan Aksa membuat Aria melotot. "Keluar!!" teriaknya.

"Aria..."

"Kalau kamu masih mau aku kasih kesempatan, keluar sekarang juga."

Aksa memejam, kepalanya pening sekali, ia berdiri dan memilih untuk mengikuti kemauan Aria. Ia sungguh berharap, kejujurannya bisa melunakkan hati Aria, bukan sebaliknya.

***

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang