Aksa POVAksa tak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Terbangun dan tertidur sambil memeluk Aria, ternyata sepenting itu untuk menyempurnakan harinya. Ia benar-benar sayang sekali dengan Aria. Tak melihatnya sebentar saja, pasti dia langsung kemrungsung.
Aksa tahu dia membuat cewek itu kesusahan, bahkan Aria sudah terang-terangan bilang kalau ia risi ditempeli, tapi Aksa benar-benar sedang di fase jatuh cinta yang semenggebu-gebu itu. Kalau ia bisa menyimpan Aria di sakunya, pasti sudah ia lakukan.
"Mas Aksa... udah sih... mau sampai kapan gini... katanya mesti ke rumah Mama hari ini." kata Aria sambil berusaha melepaskan pelukannya, kulit mereka menyatu dibawah selimut.
"Nggak usah jadi aja."
"Nggak bisa, Mama udah telfonin kita terus dari tadi." kata Aria, disusul dengan suara getar handphone di nakas yang kembali terdengar.
"Sekali lagi?" tawar Aksa.
Aria menggeleng. "Nanti malem aja, aku udah mau pingsan rasanya."
Aksa tertawa kecil. "Oke deh. Tapi mandinya barengan ya."
"Nggak mau!"
"Kenapa sih selalu nolak mandi bareng??"
"Soalnya kamu nakal!" Aria mencubit lengan Aksa keras-keras. "Aku marah nih, kalau kamu begini terus."
"Ngancemnya gitu mulu."
"Kali ini beneran."
Suara ketus Aria membuat Aksa melepas pelukannya, meskipun dengan enggan. Aria duduk dan memakai kaos Aksa yang tersampir sembarangan di pinggir ranjang.
"Pinjem kaosnya." kata Aria sambil berdiri, langkahnya sempoyongan ke kamar mandi.
Aksa suka sekali melihat Aria memakai bajunya yang kebesaran di badannya yang kecil. Dia terlihat sungguh menggemaskan.
Ah...
Aksa tak pernah merasa seperti ini pada siapapun—ia tahu ia jenis lelaki yang sekalinya jatuh cinta tak akan setengah-setengah, tapi dengan Aria sungguh berbeda. Setiap hal yang Aria lakukan, terlihat manis di matanya, bahkan ketika perempuan itu kesal. Dari semua keberuntungan yang ia dapatkan di hidupnya, Arialah keberuntungan terbaiknya.
Meskipun Aria belum membalas perasaannya secara terang-terangan, Aksa tahu kalau perempuan itu juga sudah mulai punya perasaan padanya. Diam-diam Aksa suka sekali saat Aria memberikan perhatian-perhatian kecil untuknya, seperti saat perempuan itu menyisiri rambut panjang Aksa kebelakang dengan jari agar tak menusuk mata saat mereka mengobrol sebelum tidur.
Aria juga selalu—selalu—merespon sentuhannya, bahkan, kentara sekali cewek itu juga penasaran akan tubuh Aksa. Ia tak pernah menolak Aksa sentuh—kecuali saat mereka butuh untuk pergi seperti saat ini. Aksa pikir, kecil-kecil begitu, Aria lawan yang sederajat untuknya diatas ranjang.
Memikirkannya saja, Aksa jadi mau lagi.
Tak lama Aria keluar dari kamar mandi dengan tergesa. Ia masih memakai kaos Aksa yang tadi. Aksa memerhatikan Aria yang sibuk mencari bajunya di lemari.
"Mas Aksa, mandi!" perintahnya begitu galak.
Aksa tersenyum, sepertinya, kalau ia nekat mengisengi Aria lagi, cewek itu akan benar-benar marah. Jadi, Aksa bangkit dari tempat tidur dan berjalan santai ke kamar mandi tanpa sehelai benangpun.
Setelah mandi dan sarapan, atau mungkin lebih tepat disebut makan siang, mereka pergi ke rumah orang tua Aksa. Disana Mamanya sudah menunggu kedatangan mereka dengan tak sabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Was My First Kiss
Любовные романыJadi ART di rumah seorang laki-laki brengsek yang pernah menciumnya hanya karena kalah taruhan?? Aria rasanya ingin kabur saja saat tau siapa majikannya, tapi situasinya tak semudah itu, ia benar-benar butuh uang untuk bertahan hidup. _________ Seme...