Chapter 33

3.7K 225 2
                                    


AKU hampir membuka pintu kamar mandi saat terdengar suara ramai diluar. Tampaknya, ada yang datang menjenguk Aksa. Aku menempelkan telinga di pintu, mencoba mendengar obrolan yang terjadi diluar.

Mataku melebar saat mendengar nama Jordan disebut. Oh, ini pasti teman-teman Aksa.

Aku mengikuti setiap percakapan mereka, entah kenapa rasanya takut untuk menampakan diri.

"Berarti kalau lo stuck di 2015... lo masih pacaran sama Hazel, ya?"

Pertanyaan Jordan membuatku tertegun. Apalagi omongan Aksa setelahnya yang mengindikasikan kalau ia menaruh perasaan pada 'Hazel' ini.

"Aduh, jadi pesta pernikahan lo batal dong ya? Sabtu besok kan harusnya?" tanya seorang perempuan

"Ya baguslah batal."

Jawaban sinis Aksa menusuk hatiku. Mendadak, menelan ludah terasa seperti menelan batu. Aku menguatkan mental dan mengatur napas sebelum keluar dari kamar mandi dan menyapa teman-teman Aksa.

Usahaku untuk nampak baik-baik saja berhasil. Sampai akhirnya mereka pulang, aku mampu untuk tetap bersikap tenang. Padahal jujur, hatiku rasanya tak karuan akhir-akhir ini.

Saat mendengar kalau Aksa kecelakaan dan koma, separuh nyawaku seperti melayang. Aku tak menyangka akan berhadapan dengan situasi ini lagi, dimana aku harus melihat orang terdekatku terbujur diatas bed rumah sakit dengan penuh luka dan cedera.

Setiap hari aku berdoa Aksa akan kembali terbangun dan menjahiliku. Tapi yang terjadi malah diluar dugaan, ia terbangun dengan kondisi lupa ingatan—lupa total akan kehadiranku di hidupnya.

Aku menghela napas, teringat akan sikapnya yang selalu tak mau jauh dariku selama beberapa bulan kebelakang. Sekarang, jangankan berdekatan, Aksa bahkan tak mau menatapku.

Tak dapat dipungkiri, hatiku sakit diperlakukan begitu.

Aku melipat selimut di sofa, sambil diam-diam memerhatikan Aksa yang menatap ke luar jendela. Bahkan saat berduaan seperti sekarang, ia tak kunjung mengajakku bicara. Padahal dulu, dia tak pernah suka diam-diaman begini.

Aku berdeham. "Mau makan siang apa?"

Aksa tak menjawab.

"Mas Aksa?"

"Nggak usah repot-repot."

Napasku tertahan. Rasanya menyesakkan diperlakukan ketus seperti ini. Tapi aku tak boleh banyak menekan Aksa, dokter bilang, ini pasti jadi saat-saat terberat baginya. Jika lupa ingatan ini terjadi padaku, aku pasti akan merasa frustasi juga.

Tak lama, Mama Ivana masuk ke kamar, tangan kirinya menenteng buah-buahan, sementara tangan kanannya sibuk dengan handphone.

"Iya, alhamdulillah udah siuman, tapi ya itu, acara resepsinya diundur dulu..." katanya pada seseorang, seharian ini Mama tak henti menelfon koleganya untuk memberitakan pembatalan acara resepsi.

Saat ini, pernikahan siriku dan Aksa sudah tercatat secara resmi. Tapi, pesta pernikahan terpaksa diundur ke waktu yang belum ditentukan karena adanya musibah ini.

"Aksa, ini nggak dimakan?" tanya Mama Ivana sambil menunjuk makan siang Aksa yang tak tersentuh.

"Nggak mau makan itu." jawab Aksa, nada merajuknya membuatku mengernyit.

"Mau makan apa dong?"

"Bebek aja."

"Haji Naim lagi? Ampun... emang nggak bosen?" Mama Ivana menoleh kearahku, wajah cantiknya nampak lelah. "Aria mau juga nggak sayang? Mama biar sekalian pesankan."

"Aria udah makan Ma."

"Makan apa?"

"Itu... bubur?"

"Lho, itu kan makan pagi. Sekarang udah siang lho."

"Yaudah Ma, Aria juga pesan bebeknya."

"Oke, bentar Mama telfon dulu..."

Mama Ivana kembali sibuk dengan handphonenya, entah kali ini menelfon siapa. Mataku bertemu dengan Aksa yang menatapku datar.

"Ada yang perlu dibantu?" tanyaku sambil tersenyum dan mendekatinya.

Tapi, Aksa malah menghela napas sambil membuang muka.

Langkahku terhenti, tanganku refleks mengepal kuat, sabar... Aria... sabar!!

***

Aksa dirawat di rumah sakit selama hampir 3 minggu, sebelum kemudian dibolehkan untuk rawat jalan di rumah. Kasus Aksa cukup menggemparkan rumah sakit, hasil CT scannya di teliti oleh banyak dokter spesialis, tapi tetap saja, dari sekian banyak konsultasi dan terapi, Aksa tak kunjung menemukan titik terang.

Dokter bahkan sudah mulai pesimis dan meminta agar keluarga mempersiapkan opsi terburuk—Aksa kehilangan memorinya secara permanen.

Aku tak yakin apa yang kurasa saat mendengar hal itu. Beberapa hari ini perasaanku betul-betul tak menentu, aku mencoba untuk menepis semua rasa sedih, lelah, kesal dalam diriku dan menutupinya dengan senyuman palsu.

Aksa tak lagi bersikap hangat padaku. Meskipun aku yang menungguinya tiap malam di ruang perawatan, ia benar-benar tak menganggapku ada. Ia lebih memilih untuk menekan tombol pemanggil perawat ketimbang meminta bantuanku saat butuh sesuatu.

Bohong kalau hatiku tak sakit diabaikan begitu.

Tapi aku bisa apa? Semua yang terjadi sekarang diluar kendaliku.

Kami pulang ke rumah Blok A No 7, karena Aksa bersikeras ingin melihat rumahnya sendiri. Selama beberapa hari kedepan, Mama Ivana dan Om Irawan juga berencana menginap disini untuk membantu Aksa menyesuaikan diri.

"Mbak Rani yang kerja disini mana, Ri?" tanya Mama Ivana saat memasuki rumah.

"Eh? Mbak Rani?" Aku mengernyit bingung. "—oooh Mbak Rani! " Mataku melebar saat menyadari maksudnya. Aku melirik kearah Aksa, tapi ia nampak acuh. "Mbak Rani udah nggak kerja disini lagi Ma."

"Masa?? Sejak kapan??"

"Udah lama sih..."

"Haduuh, memang sekarang cari ART yang loyal tuh susahnya minta ampun!"

Aku mangut-mangut saja mendengarnya, tanganku sibuk membawa barang-barang dari mobil.

"Mama Papa tidur dimana ya?" tanya Mama saat kami masuk ke rumah.

"Kamar tamu bersih kok Ma, bisa dipakai."

"Oh? Udah bukan jadi gudang lagi tuh kamar tamu?"

Aku menggeleng. Sejak pertama aku kerja jadi ART disini, semua ruangan sudah kutata dengan rapi. Barang tak terpakai juga sudah banyak kubuang, hingga tak perlu lagi ada ruangan yang jadi gudang di rumah.

"Mama Papa pulang aja." kata Aksa. "Nggak usah nginep disini, nggak apa-apa."

"Yakin kamu?" tanya Papa Irawan.

Aksa mengangguk. "Kasian, pada capek kan? Lagian, disini kan ada Aria."

Mataku melebar saat mendengar Aksa menyebut namaku untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Mama Ivana menatap Aksa dan aku bergantian, lalu menghela napas panjang.

"Nanti kalau ada apa-apa langsung telfon aja ya?" katanya sambil menepuk pudak Aksa.

"Iya, Ma, Pa, Makasih."

Aku dan Aksa mengantar Mama Papa sampai keluar. Saat mobil mereka benar-benar pergi, Aksa langsung balik badan dan masuk ke rumah. Aku menatap punggungnya, perasaan sedih seketika melandaku, Aksa terasa sangat...jauh.

Aku menengadah, menatap ke langit sore yang mulai gelap. Kuharap, semua ini hanya mimpi buruk dan aku akan segera terbangun.

***

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang