Chapter 20

6K 365 6
                                    

—4 jam sebelumnya—

Aku merebahkan badanku yang terasa remuk redam di kasur hotel. Sekarang sudah pukul 10 malam. Benar-benar hari yang melelahkan. Setelah berhasil kabur dari Mall tanpa berpapasan kembali dengan Aksa, aku langsung pergi ke ruko Pak Boss untuk mengabarkan kalau aku berhenti jadi ART dirumah Blok A No 7.

Tentu saja, Pak Boss kecewa dan sempat mengomel panjang lebar, tapi setelah kujelaskan kalau aku ingin cari kerjaan yang lebih baik, dia agak melunak. Tapi tetap saja, aku diharuskan membayar biaya denda pelanggaran kontrak. Aku sih nggak masalah, yang penting hubunganku dengan Pak Boss yang sudah sangat berjasa itu tetap terjalin baik.

Setelah menyelesaikan urusanku dengan Pak Boss, aku lanjut mencari kosan bulanan di daerah sekitaran hotel. Nggak mungkin kan, aku berlama-lama tinggal di hotel. Setelah 3 jam berkeliling, akhirnya aku menemukan satu kamar kos putri di lingkungan yang nyaman dengan harga yang masih tergolong murah.

Aku sudah memutuskan untuk tinggal dulu di Jakarta sebelum menentukan langkahku selanjutnya.

Mataku hampir terpejam saat handphoneku kembali bergetar. Aku mengernyit, bukannya nomor Aksa sudah aku block ya?

Mataku kembali melebar saat kontak Bulik Sri muncul dilayar. Nggak biasanya Bulik menelfon tengah malam begini.

"Halo, Assalamualikum, kenapa Bulik?"

"Waalaikumsalam Mbak Ari, anu, Mas Javi kecelakaan Mbak."

Aku langsung terduduk, rasa kantukku hilang seketika. "Kecelakaan dimana Bulik?"

"Mas Javi tadi keluar beli makan, terus kok Bulik tunggu nggak pulang-pulang, eh nggak lama ada orang datang ke rumah, ngabari kalau dia kecelakaan... ini Bulik lagi perjalanan ke rumah sakit, sama Om Yanto."

Dadaku langsung berdebar kencang. "Nanti kabarin ya Bulik, gimana keadaan Javi."

"Iya, nduk. Maaf ya Bulik ganggu istirahatmu."

"Nggak, Bulik, tolong terus kabari aku ya."

"Nggih, Bulik tutup dulu ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku duduk diatas kasur sambil terus menatap layar handphone, menunggu. Waktu terasa begitu lama sampai Bulik kembali menelfon.

"Ya, Bulik, gimana?"

"Mbak... gimana iki mbak..." suara isak tangis Bulik membuatku semakin gelisah.

"Bulik? Javi baik-baik aja kan??" tanyaku, mulai hilang ketenangan.

"Mas Javi belum sadar Mbak, sekarang lagi di operasi, katane tulang leher, tangan, kaki patah kabeh."

Hatiku mencelos mendengarnya. Tubuhku seperti terjatuh kelubang hitam yang tak berdasar.

"Mbak Ari? Ini Om Yanto." Tiba-tiba suara tangis Bulik berganti dengan suara berat Om Yanto. "Anu, Mbak bisa kesinikah?"

"Y-ya Om, besok pagi aku kesitu naik bus."

"Yowes Mbak, doanya jangan putus buat Mas Javi, insyaAllah panjang umurne."

"Iya Om, tolong jaga Bulik juga ya. Anu, Om, untuk biaya operasinya butuh berapa?"

Om Yanto terdiam sesaat sebelum menjawab. "Tadi di administrasi, perkiraan biaya bisa sampai puluhan, tapi Mbak nggak usah banyak fikiran, Om bakal cari pinjaman secepatnya."

"Jangan, Om, jangan cari pinjaman kesiapa-siapa, Ari ada uangnya." kataku cepat. "Besok Ari yang urus semua administrasinya."

"Oh... yowis lah, yang penting kamu sing tenang, jangan panik, banyak doa."

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang