Aku sampai di Jogja pukul 2 dini hari. Tapi untunglah di jaman sekarang ada ojek online yang selalu dapat diandalkan untuk urusan transportasi. Pak Ojol mengantarku ke sebuah hotel yang letaknya cukup dekat dari stasiun yang sudah kupesan lewat aplikasi.Sesampainya di kamar hotel, aku langsung merebahkan badan. Rasanya tubuh, pikiran dan perasaanku lelah.
Sekarang apa?
Aku harus menyusun rencana kedepannya. Setelah menyelesaikan urusan perceraian dengan Aksa, aku mungkin akan tinggal di Malang dan membantu bisnis Javier. Dengan sisa uang yang kupunya di rekening, aku juga bisa mencoba untuk kembali daftar kuliah. Hmm, ide itu terdengar menarik.
Aku meraih handphoneku dan menyalakannya. Mataku melebar saat ada ratusan chat whatsapp masuk. Kebanyakan dari Aksa, ada juga dari Javier, Bulik, Mama Ivana, bahkan Mba Andina juga turut menanyakan keberadaanku.
Aku menghela napas dan mematikan kembali handphoneku. Rasanya hatiku belum siap untuk menghadapi semua. Biarlah hari ini menjadi hariku untuk sembunyi, besok, atau lusa, aku baru akan mulai menghadapi semuanya.
Aku memejamkan mata dan langsung tertidur lelap, saat terbangun, sinar matahari sudah terang-benderang menerangi kamar.
Kepalaku sudah tak sepusing kemarin, tapi tenggorokanku rasanya sakit sekali. Aku meraih air mineral yang diletakkan di nakas dan langsung meneguk habis setengahnya. Air itu seolah mengembalikan kesadaranku yang masih menggantung.
Aku terkesiap saat tiba-tiba rasanya mual sekali. Cepat-cepat aku ke kamar mandi, air yang baru kutelan semuanya kumuntahkan lagi. Aku sampai kehabisan napas karena terus-menerus muntah.
Aku terduduk di lantai kamar mandi yang kering sambil berusaha untuk tetap tenang. Perutku rasanya tak nyaman, kepalaku berdenyut, lidahku juga pahit. Sebenarnya, sudah beberapa hari ini aku merasa tak enak badan. Jantungku berdebar saat kemungkinan yang kutakutkan melintasi pikiranku.
Ya Tuhan... jangan. Kumohon...
Aku kembali berdiri dan menatap pantulan diriku yang berantakan di cermin. Tanganku menggenggam erat tepi wastafel. Tenang, Aria, tenang... coba pikir pakai logika, harus apa sekarang?
***
"Iya, hamil nih, udah ada kantongnya tuh."
Aku menatap nanar layar LCD yang menampakan gambar USG. Sebuah lingkaran kecil yang sedikit lonjong nampak disana. Karena sudah ada feeling sebelumnya, aku tak begitu merasa syok dengan berita ini.
"Udah hampir 3 minggu nih," kata Dokter itu lagi. "Nanti saya resepkan vitamin dan anti mual ya, kamu usahakan makan meskipun sedikit..."
Seorang suster membantu untuk membersihkan perutku dari sisa gel dengan tisu. Susah payah aku berusaha bangkit duduk.
"Pucat banget wajah kamu, udah makan belum?" tanya Dokter khawatir.
Aku menggeleng, rasanya badanku lemas dari ujung kepala sampai ujung kaki, untuk bicarapun aku tak sanggup.
"Mual muntahnya parah ya?"
Aku mengangguk.
"Kamu diinfus dulu aja, daripada pingsan dijalan. Sus, ambil kursi roda."
"Baik dok."
Aku tak berniat untuk mendebat keputusan dokter dan memilih untuk mengikuti arahannya. Tak lama kemudian aku sudah berbaring diatas ranjang ruang perawatan dengan jarum infusan tertanam di lengan. Mataku terpejam, rasanya badanku seperti mengambang antara sadar dan tak sadar.
Entah berapa lama, sampai aku terbangun sepenuhnya dan merasa lebih baik. Seorang suster membawakanku semangkuk bubur sumsum dan air mineral.
"Mbak, dimakan dulu. Jangan sampai perutnya kosong." katanya. "Bisa makan sendiri? Mau aku suapi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
He Was My First Kiss
Любовные романыJadi ART di rumah seorang laki-laki brengsek yang pernah menciumnya hanya karena kalah taruhan?? Aria rasanya ingin kabur saja saat tau siapa majikannya, tapi situasinya tak semudah itu, ia benar-benar butuh uang untuk bertahan hidup. _________ Seme...