Chapter 14

6.3K 394 7
                                    

Aku menatap pantulan diriku lagi. Kali ini di cermin meja rias suatu kamar yang terasa begitu asing.

Aku sudah mandi dan berganti pakaian. Tadi Tante Ivana membawakan satu stel piyama berwarna pink pucat, lengkap dengan celana dalam dan bra baru untukku.

Sekarang sudah pukul 10 malam—baru saja aku dan keluarga Aksa selesai barbekyuan. Tanpa menutup-nutupi rasa penasarannya, Tante Ivana menanyakan semua hal yang ingin ia ketahui. Akupun tak bisa banyak mengelak, karena beliau bertanya begitu detail. Jadilah, Aksa juga tahu semuanya.

Tapi untungnya, aku masih bisa menjaga beberapa rahasia penting di hidupku, yang tak boleh seorangpun tau.

Aku menghela napas panjang.

Kenyataan kalau orang tua Aksa mengenal orang tuaku membuat aku merasa... aneh.

Tak banyak yang tau akan keluargaku, karena aku tak pernah sekalipun bercerita, pada siapapun. Selama ini, semua pahit yang kurasa kupendam sendiri. Mengetahui ada orang-orang yang tau semua hal menyedihkan yang terjadi pada keluargaku membuatku merasa rapuh... tapi juga lega.

Pokoknya, yang kurasakan sekarang itu membingungkan.

Tok tok tok—

Saking seringnya pintu kamarku diketuk, aku sampai hafal kalau itu pasti Aksa.

Aku membuka pintu dan mengintip keluar.

"Kenapa?"

"Mau ngecek keadaan kamu aja."

Aku menghela napas panjang. "Kalau tau akhirnya begini, aku nggak akan..."

Aksa nyengir lebar. "Aku juga nggak tau, orang tua kita saling kenal."

"Kamu kenapa tadi nggak bantuin aku sih?"

"Bantuin apaan?"

"Ya jawabin pertanyaan dari Mama kamu tentang hubungan kita! Bantuin ngarang kek."

"Nggak bisa. Mama mau ngobrolnya sama kamu."

Aku mendengus.

"Mama lagi nangis di kamar."

Mataku melebar. "Kenapa??"

"Ngerasa bersalah sama kamu."

"Hah... bersalah kenapa?? Padahal aku nggak apa-apa..."

"Mama memang gitu, bawel, perasa, tukang ikut campur, tapi dia tulus."

Aku mengangguk. "Iya, Mama kamu baik banget."

"Kalau Mama tau kamu kerja jadi pembantu gimana ya?"

Aku melotot. "Jangan sampai tau deh!"

Aksa bersender pada tembok dan melipat tangannya di dada. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu.

"Apa? Ngomong, aku nungguin nih." desakku tak sabar.

Aksa tersenyum. "Aku cuma lagi mikir kalau kamu hebat, Aria."

"Hebat apanya?"

"Hebat bisa laluin semuanya."

"Nggak hebat, kok." kataku. "Pada dasarnya, semua hal yang terjadi di kehidupan kita, kalau dijalanin, pasti berlalu juga."

"Kata Mama, dulu kamu anak yang cengeng banget." Aksa mengangkat tangannya dan menyampirkan rambutku ke belakang telinga.

Aku terdiam kaku.

"Tapi kayaknya, aku nggak pernah liat kamu nangis."

"Nangis itu bikin capek." kataku cepat. "Udah ah, aku mau tidur ya. Bye bye."

BAM! Aku menutup pintu dengan sentakan keras.

Andai Aksa tau, aku bukannya nggak mau menangisi diriku, rasanya aku ingin bisa menangis meraung-raung menumpahkan semuanya. Berteriak dan menendang-nendang seperti orang kesurupan. Kalau bisa, aku sangat ingin melakukannya.

Tapi, aku tak bisa... entah sejak kapan, air mataku tak pernah bisa keluar lagi.

***

Aku adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Jarak antara aku dan adikku, Javier, 6 tahun. Aku lahir dan dibesarkan oleh orang tua yang saling mencintai dan menghargai. Semuanya terasa sempurna, tapi setiap hal pasti bertemu akhirnya.

Mama meninggal setahun setelah melahirkan Javier karena penyakit Jantung yang tiba-tiba. Awalnya, Papa membesarkan kami berdua dibantu oleh pengasuh. Tapi setahun berselang, Papa pikir kami butuh sosok ibu yang hadir. Maka Papa menikahi Anindya, sekretarisnya, yang seorang janda ditinggal mati dengan 2 orang anak.

Tante Anin seorang wanita karir yang ambisius, tapi dia baik. Dengan bantuan pengasuh, dia membesarkan Javier dan aku tanpa pernah membedakan kami dan anak kandungnya. Kami hidup lebih dari berkecukupan. Semuanya berjalan baik-baik saja sampai Papa akhirnya menemui akhirnya juga. Saat aku SMA, Papa kecelakaan dan meninggal dunia tak lama setelah dinyatakan koma.

Papa pergi meninggalkan cukup banyak hutang dari bisnisnya. Maka dari itu, aku rela untuk pindah ke sekolah negeri demi menghemat pengeluaran rumah tangga. Untuk kebaikannya, Javier yang masih berusia 9 tahun akhirnya diasuh oleh Omku yang memang belum di karuniai anak di Malang.

Awalnya aku tak khawatir tentang uang sekolah, karena Papa sudah membuat rekening khusus uang pendidikan untuk aku dan Javier. Tapi uang ratusan juta di rekening itu harus direlakan saat Tante Anin ditangkap polisi dengan tuduhan kasus penipuan berkedok arisan online, yang nilai kerugiannya mencapai milyaran.

Aku ingat, tahun-tahun itu adalah tahun terberat bagiku. Aku tak punya pilihan selain putus kuliah di semester 7. Semua harta peninggalan Papa ludes, bahkan rumah besar kami pun berakhir di tangan Bank. Tante Anin dipenjara selama 6 bulan. Saat dia keluar, kami sekeluarga pergi ke Bandung dan tinggal di rumah peninggalan orang tua Tante Anin.

Sampai titik itu, semuanya sanggup kujalani. Di Bandung aku bekerja sebagai kasir minimarket. Gajinya cukup untuk kehidupan sehari-hari yang sederhana. Kedua saudara tiriku—Kak Galih dan Hanum, juga sama-sama bekerja untuk menopang perekonomian keluarga. Tapi semenjak keluar dari penjara, Tante Anin tampak berubah. Ia lebih sering murung, kadang tertawa tiba-tiba.

Beberapa kali aku mencoba untuk mengajaknya ke psikolog atau psikiater, tapi selalu ditolak mentah-mentah olehnya. Tante Anin bahkan sempat menamparku karena hal itu, sampai akhirnya aku tak pernah lagi membahasnya.

Lalu musibah selanjutnya datang, entah darimana, Tante Anin mulai mengenal apa itu judi online. Setiap uang yang aku atau saudaraku beri, selalu dimasukan ke situs terlarang itu. Semua itu terbongkar saat ada debt collector yang mendatangiku di tempat kerja. Tante Anin berani menggunakan dataku untuk pinjaman online, yang uangnya digunakan untuk berjudi. Aku marah, tapi saat itu rasa kasihanku pada Tante Anin masih lebih besar.

Tak lama dari datangnya dc ke mini market tempat aku bekerja, akupun di pecat. Aku pontang-panting cari kerja dengan ijazah SMAku. Untuk dapat uang, saat aku belum mendapat kerja tetap, aku sering menjadi buruh cuci dadakan dari anak-anak kuliahan yang ngekos disamping rumah.

Semuanya, sanggup kujalani.

Sampai suatu ketika, ada hal yang tak bisa kutolerir terjadi...

***

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang