Chapter 12

29.1K 1.8K 20
                                    

"MAKASIH Ri, bantuannya. Saya senang deh, ada perempuan lain di kantor ini." ujar Mba Andina sambil tersenyum. Aku baru saja membantunya menyeleksi beberapa CV. Karena aku belum punya jobdesc yang jelas, aku banyak membantu Mba Andina hari ini.

Aku balas tersenyum, "Sama-sama Mba."

"Saya pulang dulu ya, kamu ngekos dimana?"

"Ee—"

"Di daerah Cilandak, searah sama saya Mba." jawab Aksa yang baru datang. Entahlah dia seharian ini kemana.

"Ooo gitu, yaudah saya duluan ya."

Aku mengangguk. "Hati-hati Mba."

"Ada masalah apa?" tanya Kak Rimba pada Aksa.

"Barang bakal datang lebih lama dari perkiraan." jawab Aksa.

"Waduh? Terus gimana?"

"Besok deh, kita meeting sama si Ben juga. Gua balik duluan ya. Ayo."

Aku yang sedang mendengarkan percakapan mereka kaget saat Aksa tiba-tiba menoleh kearahku.

"Eh? Kemana?"

"Ya balik lah."

"Kalian tinggal bareng?" tanya Kak Leo tiba-tiba.

Aku melotot mendengarnya. "Nggak! C-cuma searah kok!"

"Lah, tenang aja kali Ri, gue nggak bakal panggil Pak RT buat gerebek kalian." Seloroh Kak Leo.

"Nggak kok, beneran Kak, kita cuma searah." jelasku sambil menatap Aksa panik. "Ya kan?"

Aksa tampak menyebalkan dengan seringaian lebarnya. "Iya, iya." sahutnya, nggak membantu sama sekali.

Arggg, nyebelin!

"Yaudah, ayo balik."

Mau tak mau, aku mengekori Aksa sampai ke parkiran.

"Mulai besok, kita berangkat sama pulangnya jangan bareng." kataku di dalam mobil.

"Lah? Kenapa?"

"Aku nggak mau disangka kumpul kebo sama kamu!" jawabku kesal.

Aksa terkekeh. "Nggak kok, tadi itu si Leo cuma bercanda. Dia memang suka iseng anaknya."

Aku mengernyit. "Beneran?"

Aksa mengangguk. Hmm, lagaknya nggak meyakinkan!

Tak lama, mobil berbaur dengan kendaraan lain, karena ini jam 5.45 sore, sudah dipastikan jalanan super padat dan macet.

"Ini serius nyampe jam 8 kerumah?" tanyaku sambil menunjuk ke GPS.

"Yah beginilah, macetnya Jakarta." jawab Aksa. "Makanya aku suka balik jam 9 malem, soalnya jalanan udah nggak semacet ini."

"Yaudah, besok, aku balik duluan aja naik umum, kamu di kantor aja tungguin jalan sepi."

Aksa melirikku. "Serius mau empet-empetan kayak gitu?" tanyanya sambil menunjuk kearah bus transjakarta yang penuh.

"Naik ojol kan bisa." kataku keukeh.

"Ongkosnya bisa sampai 50ribu lho, aku udah pernah."

Aku mengernyit. 50 ribu? Kalau sekali sih nggak apa, tapi kalau tiap hari...

Aksa seperti tau apa yang ada dalam pikiranku, dia tertawa kecil. "Kalau bisa bareng, ya bareng ajalah, kan seru, macet-macetan bareng."

Aku mendengus. Seru apanya coba? Mumet yang ada!

"Macet gini, seru nggak sih main truth or dare?" usul Aksa.

Kenapa sih, cowok itu obsesi banget sama permainan laknat itu?

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang