Aksa pov
"Aria nggak kesini kok, emangnya kenapa? Kalian lagi berantem ya?" Itu jawaban Mamanya.
"Aria nggak ke kantor, bukannya dia izin cuti ya hari ini?" Itu jawaban Mba Andina.
"Kakak nggak ngabarin bakal kesini kok Mas, kenapa Mas? Ada masalah ya?" Itu jawaban Javier.
Aksa menghela napas dan menutup telfonnya setelah menjelaskan secara singkat apa yang terjadi, sedari tadi ia menelfon orang-orang untuk menanyakan keberadaan Aria, tapi hasilnya nihil.
Tiba-tiba handphonenya bergetar, Ben menelfon.
"Halo? Kemana Sa? Nggak jadi ke gudang kita?"
"Maaf Ben, gua izin dulu ya, si Aria mendadak hilang."
"Hilang gimana maksud lo?"
Aksa menghela napas berat. "Ada masalah..." jawabnya menggantung, ia sungguh tak sanggup lagi menjelaskan keadaan.
Ben terdiam sesaat sebelum melanjutkan. "Udah lo cek emailnya belum? Kali aja ada petunjuk dia pergi kemana."
Mendengar saran itu, Aksa berdiri dan kembali kedepan laptop. "Gue coba cek deh."
"Kalau nggak ada, gue bantuin deh buat tracing lokasi handphonenya Aria."
"Ok, makasih ya Ben,"
Aksa menutup telfonnya dan membuka laptop sialan itu. Matanya membuka satu persatu tab browser, saat salah satu tab itu menampilkan inbox gmail Aria, Aksa seperti menemukan titik terang.
Ia mengernyit saat membaca email dari satu aplikasi travel yang mengirim tiket kereta api yang bertujuan ke Jogjakarta. Aksa kembali mencoba menelfon Aria, jantungnya memacu cepat saat akhirnya Aria mengangkat telfon.
"Aria? Kamu dimana??"
"Urus perceraian kita ya..."
Hati Aksa seperti diremas kencang mendengarnya.
"Aria—"
"Semua dokumen penting tentangku ada di lemari kamar bawah. Kalau butuh sesuatu, email aku aja detailnya, aku pasti kooperatif. Nanti aku kirim orang untuk ambil barang-barangku dari rumah kamu. Hmm, apalagi ya? Udah sih, itu aja. Saat ini aku nggak mau diganggu, jadi tolong pengertiannya ya, makasih."
Saat telfon itu ditutup, Aksa kembali mencoba untuk menghubungi Aria. Ia membanting handphonenya saat telfon kini tak terhubung. Aksa meninju meja makan kayu didepannya sekuat tenaga. Rasanya ia sungguh frustasi.
Ia tak mau kehilangan Aria. Seumur hidup, ia tak akan pernah rela.
***
Aksa duduk di kursi lobby hotel, entah sudah berapa lama. Matanya awas meneliti setiap wajah yang lalu lalang. Meskipun ia belum tidur dalam 24 jam terakhir, fokusnya tetap terjaga.
Saat sosok yang ia tunggu datang, Aksa langsung bangkit berdiri. Jantungnya berpacu cepat.
"Aria!" panggilnya.
Aria menoleh kearahnya, wajah perempuan itu nampak pucat pasi. Ia langsung berlari kearah lift, tapi Aksa dapat dengan mudah memotong jarak antar mereka. Ia tepat waktu menekan tombol lift agar kembali terbuka.
Aksa merasa dadanya penuh dengan emosi yang campur aduk. Ia takut kehilangan Aria, kesal karena perempuan itu pergi begitu saja dan membuatnya khawatir, yang terpenting, ia marah dan kecewa pada dirinya sendiri. Entah kenapa ia bisa begitu tolol sampai keadaannya bisa begini.
Saat mereka sudah berdua didalam kamar, Aksa tak tahu harus mulai darimana. Punggung kecil Aria terasa begitu jauh, membuatnya semakin takut perempuan itu akan benar-benar pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Was My First Kiss
RomanceJadi ART di rumah seorang laki-laki brengsek yang pernah menciumnya hanya karena kalah taruhan?? Aria rasanya ingin kabur saja saat tau siapa majikannya, tapi situasinya tak semudah itu, ia benar-benar butuh uang untuk bertahan hidup. _________ Seme...