Chapter 34

3.6K 218 6
                                    

AKU duduk di kursi meja makan sambil memerhatikan Aksa yang begitu excited home tour rumahnya sendiri. Setiap pertanyaan remeh yang Aksa lontarkan membuat hatiku mencelos. Cowok itu benar-benar lupa dengan semuanya.

Setelah tau kalau posisi kamarnya diatas, Aksa tak turun lagi dan mengunci dirinya di kamar. Aku menyibukkan diri dengan memasak makan malam. Sengaja aku belanja sayur mayur online untuk bisa membuat menu kesukaan Aksa.

Saat semua sudah siap, aku naik keatas dan mengetuk pintu kamarnya.

"Mas Aksa, ayo makan dulu."

Tak lama Aksa membuka pintu, tatapannya padaku masih sama, datar dan terkesan tak ramah.

"Makan dulu yuk. Ada obat yang harus diminum juga." ajakku.

Aksa mengangguk dan turun kebawah, disusul olehku. Ia duduk di kursi makan sambil menatap lauk-pauk yang tersaji.

"Ini siapa yang masak?"

"Aku dong, ini semua kesukaanya Mas Aksa lho."

Aku menyajikan makanan didepannya, saat ia mulai makan dengan lahap, rasanya hatiku menghangat.

"Enak?" tanyaku.

"Enak kok."

Aku tersenyum. Setidaknya, ada satu hal yang masih sama tentang Aksa, dia suka udang saus telur asin.

"Ini obat sama vitaminnya, diminum ya."

Tanpa banyak bicara Aksa menelan obat-obatan yang kusodorkan.

"Ada yang mau gue omongin, Ri." kata Aksa setelahnya.

Entah kenapa, hatiku langsung tak tenang mendengarnya. "Kenapa, Mas? Obrolin aja."

"Karena situasinya sekarang gini, ada beberapa hal yang ingin gue perjelas." Aksa memulai. "Jujur, gue sulit menerima situasi sekarang, punya istri yang asing, bikin gue stress sendiri."

Aku diam mendengarkan.

"Gue nggak salahin lo, kok. Karena emang ini semua bukan salah lo. Tapi, jujur, gue nggak bisa kalau tiba-tiba bersikap seolah kita akrab."

Aku menelan ludah. "Aku ngerti, kok."

Aksa menghela napas. "Maafin gue ya, tapi gue rasa, mumpung kita baru nikah sebentar dan belum punya anak juga, apa kita pisah aja?"

Pertanyaan yang diajukan dengan begitu enteng itu membuatku terhenyak. "Hah?"

"Yah, gimana ya, kalau gue nggak bisa ingat lo sampai selamanya, emangnya lo nggak keberatan?"

Tanganku mengepal. "Kita nikah itu nggak main-main lho." kataku, menirukan perkataan Aksa sewaktu dulu.

"Kalau tiba-tiba ingatan kamu balik, kamu pasti bakal menyesal minta pisah sama aku." Aku menatap Aksa sungguh-sungguh. "Aku jamin itu."

Aksa balas menatapku, bibirnya mengulas senyum sinis. "Oh ya?"

Aku mengangguk mantap. "Kamu itu, cinta banget sama aku."

Aksa tertawa, seolah aku badut yang baru saja melontarkan sebuah lelucon. "Mungkin dulu gitu, tapi sekarang gue nggak ngerasain apa-apa selain terganggu dengan kehadiran lo." kata Aksa sambil mengangkat tangannya. "Sorry to say."

Aku mengerjap, perkataannya seolah memvalidasi semua sikap dinginnya padaku beberapa minggu kebelakang. Aku menatap buku jariku yang memutih karena terlalu erat digenggam.

"Kasih waktu setahun." kataku. "Kalau sampai setahun kamu masih nggak ingat sama aku, kita boleh pisah."

Aksa menyandarkan punggungnya ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada. "Boleh deh, tapi jangan coba atur-atur hidup gue ya?"

Aku mengernyit. "Maksudnya?"

"Gue paling nggak suka dikekang, apalagi sama orang yang nggak gue kenal."

Aku berpikir sejenak sebelum merespon. "Ok. Tapi jangan sampai kamu berhubungan badan sama orang lain."

Aksa mengernyit. "Lo nggak bisa ngatur gue soal itu."

"Cuma itu syarat dari aku."

"Kalau gue lagi sange gimana?" tanya Aksa blak-blakan.

Aku mengangkat bahu. "Sama aku aja, kan aku istri kamu."

Aksa tertawa. "Tapi badan lo kayak anak kecil Aria, jujur, gue nggak nafsu sama lo, gue berasa pedofil jadinya."

Aku memejam mendengar cemoohan itu. Sabar, Aria, sabar. "Aku udah 26 tahun, emang badan aku aja yang kecil." kataku. "Cuma itu syarat dari aku, kalau emang kamu nantinya mau pisah, aku beneran nggak bakal mempersulit jalannya."

Aksa bergeming.

"Tapi kita coba dulu setahun, tanpa kehadiran perempuan lain, ya?" Aku memohon. "Cuma itu yang aku minta, Mas Aksa."

"6 bulan." tawar Aksa. "Setahun kelamaan."

Aku berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Ya udah, 6 bulan."

Aksa menghela napas. "Oke lah, 6 bulan juga nggak bakal berasa." katanya sebelum bangkit dan meninggalkanku termangu sendiri.

***

Aku menatap nanar plafon kamar ART yang akhirnya kembali ku tempati. Aku tau Aksa tak nyaman akan kehadiranku didekatnya, jadi aku tak memaksa agar kami tidur satu kamar.

Aku mengangkat tangan, mencoba meraih entah apa di udara. Tak pernah terbayang olehku kalau situasinya akan berbalik seperti ini. Apa ini balasan karena aku suka dengan sengaja mengabaikan perasaan cinta Aksa yang menggebu?

Mataku panas, rasanya aku ingin menangis, tapi seperti biasa, air mataku enggan untuk keluar, menyisakan rasa sesak yang luar biasa di dada.

Aku sungguh kangen Aksa yang dulu begitu menyayangiku. Kata-kata pisah yang meluncur begitu saja dari mulutnya seperti pukulan telak. Sejak berakhirnya persoalan Evelyn itu, aku sudah menerima sepenuhnya untuk menjalani kehidupan berumah tangga bersama Aksa. Ditambah dengan kehadiran Mama dan Papa Aksa yang menyayangiku seperti anak sendiri—aku sungguh tak pernah lagi berpikir untuk berpisah.

Aku menghela napas panjang. Apa bisa, Aksa kembali mencintaiku?

Aku meraih handphoneku dan mengetik sesuatu pada browser, tak pernah terpikir olehku kalau suatu hari aku akan membaca artikel berjudul 'Cara Membuat Seseorang Jatuh Cinta' dengan begitu cermat.

Dulu, saat aku tanya alasan kenapa Aksa menyukaiku, dia menjawab kalau aku seperti martabak spesial, sungguh jawaban random yang tak membantu. Jadi, aku butuh referensi lain agar Aksa bisa kembali jatuh cinta padaku.

Aku menghela napas, setidaknya, aku harus berusaha sebelum memutuskan untuk menyerah.

***

He Was My First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang