TAPI nyatanya, aku jauh dari kata baik-baik saja.
Setelah kunjungan keluarga dari Malang, Aksa kembali ke rumah dengan sikap abai yang biasa. Aku berusaha untuk bersabar, tapi nampaknya, semua kesabaranku tak akan berbuah kalau situasinya terus berjalan begini.
Kami sama sekali tak berinteraksi, bahkan sekarang, Aksa lebih memilih untuk order makanan online ketimbang makan masakan yang kubuat. Jujur, aku bingung bagaimana cara menghadapinya.
Rabu ini, kami ke kantor karena Aksa ingin mulai mengenal bisnisnya. Aku mesti memaksa Aksa untuk membiarkan aku menyetir, dia benar-benar tak percaya padaku dan lebih memilih untuk memanggil supir orang tuanya.
"Gue nggak tanggung jawab ya kalau lo nabrak." kata Aksa saat ia akhirnya menyerah dan membiarkan aku menyetir.
"Nggak akan, Mas Aksa, dibilang aku udah lancar nyetir lintas kota juga!"
Aksa menghela napas, tapi akhirnya masuk mobil juga. Saat aku sudah menjalankan mobil dan menghadapi jalanan Jakarta yang bar-bar dengan ahli, Aksa baru terlihat lebih rileks.
Sesampainya di kantor, Aksa langsung mengobrol dengan Kak Ben di kubikelnya, lalu pergi untuk melihat keadaan ngudang di Cikarang. Semua orang tahu Aksa hilang ingatan, tapi aku sudah wanti-wanti agar mereka tak terlalu membahas soal itu. Kuperhatikan, Aksa langsung bad mood setiap kali ada yang membahas perkara hilang ingatannya.
Aku pun langsung sibuk dengan kerjaanku yang selama ini di back up Kak Leo. Tapi untungnya, penjualan sepatu di Aria Projects terus meningkat setiap bulannya. Aku merancang content plan selama beberapa minggu kedepan, sambil sesekali membantu kerjaan Mba Andita.
"Jadi posisinya sekarang lo sama si Aksa tuh udah nikah apa belom sih? Kemarin di rumah sakit gua sempet ngobrol sama nyokapnya si Aksa, katanya kalian udah akad, gimana ceritanya tuh?" tanya Kak Leo dari balik mejanya.
"Kita udah resmi nikah, kak, cuma pestanya aja yang belum." jawabku singkat. "Jadinya diundur karena musibah kecelakaan itu."
"Oh gitu... terus, sekarang, si Aksa belum balik lagi ingatannya ya?"
Aku menggeleng. "Belum, Kak."
"Kasian ya dia, pasti stress banget." timpal Mba Andita.
"Kasian si Aria juga lah." sahut Kak Leo. "Kalau seandainya tuh ingatan nggak balik-balik, lo bakal gimana?"
Aku menghela napas. "Ya jalanin aja Kak." jawabku template. Jujur, aku tak mau terlalu memikirkan kemungkinan itu.
"Dia bener-bener lupa semua ya?" tanya Kak Adimas, yang biasanya tak tertarik untuk ikut bergosip.
"Iya kak." jawabku. "Semua memorinya diatas tahun 2015, hilang."
"Dia beneran nggak inget lo sama sekali dong?" tanya Leo lagi.
"Nggak ingat kak. Sama sekali."
"Anjir... pantesan dia kayak cuek banget sama lo, padahal dulu dia bucin parah."
Entah kenapa, perkataan Leo membuatku merasa sedih.
"Nggak apa-apa, rasa cinta bisa tumbuh lagi." Mba Andita menepuk pundakku. "Semangat ya Ri, aku tau posisi kamu berat."
Aku tersenyum. "Iya, Mba, makasih..."
Sisa hari aku lalui dengan perasaan lesu. Aku jadi banyak melamun memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Kalau memori Aksa tentangku tak kunjung kembali, apa yang harus kulakukan?
Saat jam sudah menunjukan pukul 5 sore, aku mengirim chat whatsapp pada Aksa, menanyakan dia dimana dan pulang jam berapa. Saat ia tak kunjung menjawab, aku menelfonnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Was My First Kiss
RomanceJadi ART di rumah seorang laki-laki brengsek yang pernah menciumnya hanya karena kalah taruhan?? Aria rasanya ingin kabur saja saat tau siapa majikannya, tapi situasinya tak semudah itu, ia benar-benar butuh uang untuk bertahan hidup. _________ Seme...